- Penulis, Gaia Vince
- Peranan, Penulis buku Abad Nomaden: Cara Bertahan dari Pergolakan Iklim

Sumber gambar, Getty Images
Sejak kanak-kanak, saya terobsesi dengan peta. Masa kecil saya dihabiskan untuk belajar dan menggambar peta harta karun, memetakan tanah imajiner dan merencanakan rute ke tempat-tempat jauh yang ingin saya kunjungi.
Hari ini, rumah saya penuh dengan peta pemberian atau koleksi sendiri, pengingat akan tempat-tempat istimewa bagi saya. Di meja ada peta dunia besar, mozaik warna menjadi pembeda benua-benua dan lautan.
Setiap petak berwarna adalah sebuah negara, dipisahkan dari tetangganya dengan garis rapi.
Perbatasan digambarkan dengan jelas, tinta memisahkan kebangsaan yang ditakdirkan untuk nasib yang berbeda.
Bagi saya, garis-garis ini menandai kemungkinan-kemungkinan eksplorasi dan petualangan, untuk mengunjungi budaya asing dengan makanan dan bahasa yang berbeda. Bagi yang lain, perbatasan adalah tembok penjara yang membatasi semua kemungkinan.
Perbatasan menentukan nasib kita, harapan hidup kita, identitas kita, dan banyak lagi. Perbatasan adalah penemuan manusia, seperti peta yang biasa saya gambar. Perbatasan kita bukan aspek lanskap yang tidak dapat diubah, bukan bagian alami dari planet kita, dan ditemukan baru-baru ini.
Keberadaannya bisa diperdebatkan, bahwa sebagian besar garis imajiner ini tidak cocok untuk dunia abad ke-21 dengan populasinya yang melonjak, perubahan iklim yang dramatis, dan kelangkaan sumber daya.
Mencegah orang asing menggunakan perbatasan adalah sebuah nilai yang relatif baru. Dulunya negara lebih ingin orang tidak pergi daripada mencegah kedatangan. Negara perlu tenaga kerja dan pajak, dan emigrasi masih memusingkan banyak negara.
Namun, ada batas-batas sejati yang ditetapkan bukan oleh politik atau penguasa turun-temurun, tetapi oleh sifat fisik planet kita. Perbatasan planet untuk spesies kita ditentukan oleh geografi dan iklim.
Manusia tidak bisa hidup dalam jumlah besar di Antartika atau di Gurun Sahara, misalnya. Ketika suhu global meningkat, menyebabkan perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, dan cuaca ekstrem selama beberapa dekade mendatang, sebagian besar dunia akan menjadi semakin sulit untuk ditinggali.
Garis pantai, negara pulau, dan kota-kota besar di daerah tropis akan menjadi yang paling terdampak, menurut prediksi para ilmuwan iklim.
Jika tidak dapat beradaptasi dengan kondisi yang semakin ekstrim, jutaan atau bahkan miliaran orang harus pindah.
Sumber gambar, Getty Images
Perbatasan sekarang sering menjadi penghalang pergerakan, tetapi mungkinkah berubah di masa depan?
Daerah berpenduduk terpadat di planet ini terkonsentrasi di sekitar paralel utara 25-26, garis lintang dengan iklim paling nyaman dan tanah subur.
Diperkirakan 279 juta orang memadati daratan tipis ini, yang melintasi negara-negara termasuk India, Pakistan, Bangladesh, China, Amerika Serikat, dan Meksiko.
Tapi kondisi berubah. Rata-rata, relung iklim atau kisaran kondisi di mana spesies bisa hidup normal di seluruh dunia bergerak ke arah kutub dengan kecepatan 1,15 m per hari, meskipun jauh lebih cepat di beberapa tempat.
Beradaptasi dengan perubahan iklim berarti mengejar ceruk iklim kita sendiri (kisaran suhu 11C hingga 15C) yang berpindah ke utara khatulistiwa.
Batas kelayakan huni adalah perbatasan sesungguhnya yang harus kita khawatirkan saat dunia menghangat selama abad ini, membawa panas yang tak tertahankan, kekeringan, banjir, kebakaran, badai, dan erosi pantai yang membuat pertanian menjadi tidak mungkin dan menggusur orang.
Jumlah orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka setiap tahun terus mencatat rekor. Pada tahun 2021, ada 89,3 juta orang, dua kali lipat dari jumlah yang ditampilkan secara paksa satu dekade lalu, dan pada tahun 2022 jumlahnya mencapai 100 juta, dengan bencana iklim yang menggusur lebih banyak orang daripada konflik.
Banjir membuat 33 juta orang di Pakistan terpaksa mengungsi tahun ini, sementara jutaan lainnya di Afrika terkena dampak kekeringan dan ancaman kelaparan, dari Tanduk Afrika hingga pantai barat benua itu.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi mengimbau para pemimpin global pada konferensi perubahan iklim COP27 untuk mengambil tindakan berani demi mengatasi konsekuensi kemanusiaan dari pemanasan global.
Perubahan itu perlu “transformasional” menurut UNHRC. “Kita tidak bisa meninggalkan jutaan pengungsi dan tuan rumah mereka untuk menghadapi konsekuensi perubahan iklim sendirian,” kata Grandi.
Jika tidak ada tindakan, ratusan juta orang berisiko terusir dari rumah mereka pada tahun 2050, menurut beberapa perkiraan.
Satu studi dari tahun 2020 memperkirakan bahwa pada tahun 2070, bergantung pada skenario pertumbuhan populasi dan pemanasan, “satu hingga tiga miliar orang diproyeksikan akan berada di luar kondisi iklim yang telah melayani umat manusia dengan baik selama 6.000 tahun terakhir”.
Dengan begitu banyak orang yang berpindah, apakah ini berarti perbatasan politik yang dibuat-buat, yang seolah-olah dipaksakan untuk keamanan nasional, menjadi semakin tidak berarti?
Ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan dampak sosialnya mengerdilkan ancaman seputar keamanan nasional.
Gelombang panas telah membunuh lebih banyak orang daripada mereka yang mati sebagai akibat langsung kekerasan dalam perang.
Selain itu, populasi global masih terus bertambah, terutama di beberapa wilayah yang paling parah terkena dampak perubahan iklim dan kemiskinan. Populasi di Afrika diperkirakan meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2100, bahkan saat pertumbuhan di tempat lain melambat.
Ini berarti akan ada lebih banyak orang di daerah yang kemungkinan paling parah terkena dampak panas ekstrem, kekeringan, dan badai dahsyat. Lebih banyak orang juga akan membutuhkan makanan, air, listrik, perumahan, dan sumber daya, karena ini semakin sulit untuk disediakan.
Sementara itu, sebagian besar negara di Utara Global sedang menghadapi krisis demografis, di mana orang tidak memiliki cukup bayi untuk mendukung populasi yang menua.
Migrasi massal yang terkelola dapat membantu banyak masalah terbesar dunia, mengurangi jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan dan kehancuran iklim, dan membantu ekonomi utara untuk membangun tenaga kerja mereka.
Tetapi penghalang utama adalah sistem perbatasan kita: pembatasan pergerakan baik yang diberlakukan oleh negara sendiri atau oleh negara bagian yang ingin dimasuki.
Saat ini lebih dari 3% populasi global adalah migran internasional. Namun, para migran menyumbang sekitar 10% dari PDB global atau 6,7 triliun dolar – sekitar 3 triliun dolar lebih banyak daripada yang seharusnya mereka hasilkan di negara asal.
Beberapa ekonom, seperti Michael Clemens di Center for Global Development di AS, menghitung bahwa pergerakan bebas dapat melipatgandakan PDB global. Selain itu, kita akan melihat peningkatan keragaman budaya, yang menurut penelitian meningkatkan inovasi.
Pada saat kita harus menyelesaikan tantangan lingkungan dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, mungkin itulah yang dibutuhkan.
Sumber gambar, Getty Images
Setelah Perang Dunia II, Inggris mendorong migrasi dari negara-negara Persemakmuran untuk membantu menutupi kekurangan tenaga kerja.
Menghapus perbatasan atau membuatnya jauh lebih fleksibel, terutama terhadap aliran tenaga kerja, berpotensi meningkatkan ketahanan umat manusia terhadap tekanan dan guncangan perubahan iklim global.
Jika dikelola dengan baik, migrasi dapat menguntungkan semua orang.
Bagaimana jika kita menganggap planet ini sebagai persemakmuran global umat manusia, di mana orang bebas bergerak ke mana pun mereka mau?
Kita akan memerlukan mekanisme baru untuk mengelola mobilitas tenaga kerja global jauh lebih efektif dan efisien. Nagaimanapun, itulah sumber daya ekonomi terbesar kita. Sudah ada kesepakatan perdagangan global yang luas untuk pergerakan sumber daya dan produk lain, tetapi hanya sedikit soal pergerakan tenaga kerja.
Sekitar 60% populasi dunia berusia di bawah 40 tahun, setengah dari jumlah ini (dan terus bertambah) di bawah 20 tahun, dan mereka akan membentuk sebagian besar penduduk dunia selama sisa abad ini.
Banyak dari pencari kerja muda yang energik ini kemungkinan besar termasuk di antara mereka yang pindah karena perubahan iklim. Apakah mereka akan menambah pertumbuhan ekonomi untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan, atau akankah bakat mereka terbuang sia-sia?
Pembicaraan tentang migrasi selama ini terjebak pada apa yang diizinkan, bukannya merencanakan apa yang akan terjadi. Saya yakin negara-negara perlu beralih dari pikiran untuk mengendalikan migrasi menjadi mengelola migrasi.
Paling tidak, kita butuh mekanisme baru untuk migrasi dan mobilitas tenaga kerja yang sah, dan perlindungan yang jauh lebih baik bagi mereka yang melarikan diri dari bahaya.
Setiap orang seharusnya bisa ditawari bentuk resmi kewarganegaraan PBB selain kewarganegaraan kelahiran mereka.
Bagi sebagian orang, seperti mereka yang lahir di kamp pengungsian, tanpa surat-surat, atau warga negara pulau kecil yang akan lenyap akhir abad ini, kewarganegaraan PBB mungkin satu-satunya akses mereka pada pengakuan dan bantuan internasional, meskipun kewarganegaraan adalah hak asasi manusia. Paspor bisa dikeluarkan setelahnya.
Ahli teori politik David Held berpendapat bahwa kita telah melampaui batas-batas nasional kita melalui peningkatan globalisasi. Sekarang kita hidup dalam “komunitas takdir yang saling tumpang tindih” di mana kita harus membentuk demokrasi kosmopolitan di tingkat global.
Hari ini, kita sedang mengalami krisis planet dan saya percaya inilah saatnya untuk melihat diri kita sebagai anggota dari satu spesies yang tersebar secara global, dan harus bekerja sama untuk bertahan hidup.
Skala krisis iklim membutuhkan kerja sama global baru dan memerlukan kewarganegaraan internasional baru dengan badan global untuk migrasi dan untuk biosfer otoritas baru yang dibayar oleh pajak kita, dan negara-negara punya akuntabilitas padanya.
Saat ini, PBB tidak memiliki kekuasaan eksekutif atas negara, tetapi hal itu mungkin perlu diubah jika kita ingin menurunkan suhu global, mengurangi konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, dan memulihkan keanekaragaman hayati dunia.
Tata kelola global juga dapat berguna untuk mengoordinasikan tenaga kerja baru yang sangat banyak, mungkin menggunakan sistem kuota internasional untuk membantu mengalokasikan orang pada posisinya selama migrasi iklim massal abad ini. Tapi akan ada tantangan birokrasi, korupsi dan lobi oleh perusahaan yang kuat.
Mendasari tata kelola global, bagaimanapun, juga perlu negara yang kuat. Ketegangan antara keinginan dan kebutuhan individu dan masyarakat sangat nyata bagi kita semua. Ketika masyarakat kita adalah kelompok kecil yang terjalin erat pun sulit dilakukan, apalagi populasi seluruh planet.
Sulit untuk peduli, misalnya, tentang orang asing tanpa nama dan wajah di negara yang jauh, saat membuat pilihan tentang kehidupan Anda sendiri di kota yang jaraknya ribuan mil dari mereka.
Kebanyakan orang pun sudah merasa sulit untuk menyeimbangkan kebutuhan orang asing di perumahan sebelah. Negara bangsa yang sukses membantu mengelola ini dengan struktur dan institusi yang memastikan tingkat kerjasama yang bermanfaat antara orang yang tidak saling kenal dan memelihara masyarakat yang kuat di mana kita semua dapat berhasil.
Kita rela melakukan pengorbanan kecil setiap hari atas waktu, energi, dan sumber daya sebagai individu, misalnya untuk membayar pajak, demi memastikan masyarakat kita berjalan lancar. Sebagian besar dari kita melakukan ini karena ini adalah masyarakat kita, keluarga sosial kita, negara kita.
Penemuan ‘negara’ telah menjadi alat yang sangat kuat yang memungkinkan kita untuk bekerja sama dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh ahli teori politik David Miller: “Bangsa adalah komunitas yang melakukan berbagai hal bersama.”
Maka, tampaknya tidak bijaksana untuk mencoba membongkar sepenuhnya atau begitu saja meninggalkan sistem geopolitik kita yang sudah ada, dalam waktu singkat yang kita punya untuk bersiap menghadapi gangguan besar-besaran yang diperkirakan akan terjadi selama abad ini.
Hanya negara bangsa yang kuat yang mampu membangun sistem pemerintahan yang akan membantu spesies kita bertahan dari perubahan iklim.
Hanya negara bangsa yang kuat yang akan mampu mengelola perpindahan besar-besaran migran dari geografi dan budaya yang berbeda ke penduduk asli.
Mungkin kita membutuhkan perpaduan antara internasionalisme dan nasionalisme.
Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan globalisasi telah menyebabkan internasionalisme yang lebih besar. Warga London misalnya, mungkin sering merasa punya lebih banyak kesamaan dengan warga Amsterdam atau Taiwan dibandingkan dengan orang dari kota pedesaan kecil di Inggris.
Ini mungkin tidak masalah bagi banyak orang kota yang sukses, tetapi penduduk asli dari daerah pedesaan dapat merasa tertinggal dari negara mereka sendiri karena begitu industri yang dominan menurun, dan ruang sosial serta tradisi budaya menyusut.
Hal ini menciptakan kebencian dan ketakutan yang dapat menimbulkan prasangka terhadap imigran, seperti yang terlihat di beberapa bagian Inggris Raya selama debat Brexit.
Sumber gambar, Getty Images
Banjir di Bangladesh, India, dan Pakistan membuat jutaan orang mengungsi pada tahun 2022.
Perbatasan terbuka tidak harus berarti tidak ada perbatasan atau penghapusan negara. Mungkin perlu untuk mengeksplorasi berbagai jenis negara, dengan pilihan tata kelola yang berbeda.
Akankah negara yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim membeli atau menyewa wilayah di tempat yang lebih aman? Atau akankah kita melihat kota-kota khusus yang beroperasi di bawah yurisdiksi dan aturan yang berbeda dengan wilayah di sekitarnya, atau negara terapung yang membangun wilayah baru di atas ombak?
Perlu upaya untuk menemukan kembali konsep negara bangsa untuk menjadi lebih inklusif, memperkuat koneksi lokal sambil menjalin jaringan global yang lebih besar dan lebih adil.
Ada banyak manfaat dalam mendorong kesamaan, kekerabatan dengan sesama kita, berdasarkan proyek sosial, bahasa, dan karya budaya kita bersama. Sifat-sifat ini cukup penting bagi orang-orang untuk menjadikan patriotisme sebagai sumber identitas yang kuat.
Jadi bagimana jika ada upaya membangkitkan rasa patriotik tentang udara, tanah, dan air bangsa kita, untuk mendorong orang-orang menjaganya?
Satu pendekatan, karena kita semua menghadapi ancaman lingkungan, mungkin melibatkan militer dan lembaga keamanan lainnya dalam perjuangan melawan perubahan iklim.
Layanan nasional untuk warga negara yang lebih muda dan imigran untuk membantu penanggulangan bencana, pemulihan alam, upaya pertanian dan sosial dapat menjadi langkah lain untuk menciptakan solidaritas.
Dan kita mungkin perlu memulihkan atau menemukan tradisi nasional baru yang bermanfaat secara lingkungan atau sosial, dan yang membuat warga negara merasa bangga dan hormat.
Misalnya kelompok dan klub sosial yang bernyanyi, berkreasi, berolahraga, atau tampil bersama, dan keanggotaannya seumur hidup. Tradisi-tradisi ini dapat membantu menjaga martabat di masa-masa sulit dan memberikan makna patriotik bagi para imigran untuk berasimilasi.
Narasi patriotik baru bisa tentang nasionalisme sipil, berdasarkan kebaikan bersama, dengan hak dan kewajiban, dan keterikatan budaya yang penuh gairah dengan alam, dan untuk melindungi dan melestarikan tempat-tempat penting nasional (atau internasional).
Kosta Rika, misalnya, menganut istilah pura vida, yang secara luas berarti “kehidupan yang baik”, sebagai etos, mantra, dan identitas nasional.
Penggunaannya meluas sejak tahun 1970-an, ketika para pengungsi dari konflik kekerasan di negara tetangga Guatemala, Nikaragua, dan El Salvador pindah ke negara itu dalam jumlah besar.
Kosta Rika, sebuah negara kecil di Amerika Tengah yang tidak memiliki tentara tetap, justru banyak berinvestasi dalam perlindungan dan pemulihan alam di samping layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Mereka menggunakan pandangan hidup ini untuk membantu menentukan karakternya dan mengintegrasikan imigran baru.
“Seseorang yang memilih untuk menggunakan frasa ini dengan demikian tidak hanya bersentuhan dengan ideologi dan identitas bersama ini, pada saat yang sama dia membangun identitas itu dengan cara mengungkapkannya,” kata Anna Marie Trester dari Universitas New York. “Bahasa adalah alat konstruksi diri yang sangat penting.”
Ini memberi kita cara baru dalam memandang kebanggaan nasional. Bukan berarti melihat “bangsa saya” lebih baik daripada bangsa lain, juga tidak berarti pemusatan makna dan kekuasaan.
Alih-alih, cara ini bisa bermakna pelimpahan tradisi dan apresiasi terhadap daerah dan nilai budaya yang sangat besar dari warga negara baru.
Uni Eropa adalah contoh identitas supranasional yang memungkinkan warga negara merasa sebagai orang Eropa dan mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai UE, tanpa harus melepaskan identitas nasional mereka.
Gagasan serupa dapat diterapkan di dalam negara maupun di antara mereka. Di Inggris, misalnya, Pecinan London adalah tujuan wisata yang banyak dikunjungi, seperti halnya Little India. Mereka adalah bagian dari identitas bangsa, meskipun orang Inggris Tionghoa dan India Inggris sering menghadapi prasangka dan kerugian sosial ekonomi.
Untuk mendapatkan kebanggaan nasional dan bukannya kesukuan yang memecah belah, suatu bangsa perlu mengurangi ketidaksetaraan.
Negara harus berinvestasi pada rakyat agar rakyat merasa diinvestasikan dalam negara. Itu berarti mengutamakan masalah sosial dan lingkungan dengan cara yang bermanfaat bagi semua, daripada suku kecil bangsawan global.
Green New Deals yang diusulkan di Uni Eropa dan AS adalah contoh kebijakan yang ditujukan untuk memulihkan ekonomi, menyediakan lapangan kerja, dan meningkatkan martabat sambil membantu menyatukan orang dalam proyek sosial transformasi lingkungan yang lebih besar.
Cobalah, jika Anda mau, untuk menjernihkan benak dari pikiran bahwa orang-orang harus berada di lokasi tempat mereka dilahirkan, seolah-olah hal itu mempengaruhi nilai seseorang sebagai pribadi atau hak sebagai individu. Bahwa kebangsaan lebih dari sekadar garis arbitrer yang digambar di peta.
Lihatlah garis-garis ini sebagai perpaduan kekayaan budaya, sebuah transisi dan bukan penghalang untuk melintasi kemungkinan yang ditawarkan tanah Bumi kepada kita semua.