
sumber gambar, Badak abonita
Ratih Puspasari (Ki) dan Ceizzhiya Azilla Camilin (Ka) adalah atlet tim barongsai Naga Emas Banda Aceh yang beragama Islam dan berjilbab.
Di bawah tim barongsai di sasana Naga Emas Banda Aceh, terdapat sosok dua orang wanita berjilbab di deretan pemusik. Ratih Puspasari dan Ceizzhiya Azilla Camilin harus menghadapi penghinaan dan penolakan dari sesama Muslim. Sebuah prasangka diturunkan ke generasi muda, kata para antropolog.
“Kenapa, ada kerudung? Ke kanan, [Muslim] tidak bisakah kamu datang untuk merayakan tahun baru cina?”
Pertanyaan ini ditulis oleh seorang warganet yang mengomentari sebuah artikel online yang memuat foto Ratih Puspasari sedang melakukan barongsai bersama teman-temannya yang mayoritas Tionghoa.
Artikel dan foto tersebut menjadi viral di Facebook pada tahun 2014. Meski sudah bertahun-tahun, Ratih, kini berusia 25 tahun, mengaku masih ingat dengan jelas penghinaan yang ditunjukkan padanya saat itu.
“Komentarnya pasti tidak menyenangkan,” kata Ratih saat ditemui Selasa (11/11) usai mengikuti sesi latihan rutin bersama rekan-rekan atlet barongsai di kawasan Kuta Alam Banda Aceh.
Ratih bercerita, ini adalah penampilan pertamanya di perayaan Imlek sejak bergabung dengan Golden Dragon Lion Club. Mereka baru saja menunjukkan keahliannya di sebuah pura di Banda Aceh.
“Pemain Muslim, kenapa kamu bergabung dengan non-Muslim. Apakah kamu ingin bergabung dengan mereka?” dia menirukan suara komentar lain.
Ratih mengaku memilih tidak melihat komentar makian tersebut karena menurutnya “membuat saya mual”.
Orang tua tidak mengizinkannya
Ratih bergabung dengan gym Golden Dragon sebelum barongsai diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sebagai olahraga yang bisa dipertandingkan pada tahun 2013.
Keterpaparan pertama terhadap barongsai adalah saat melihat pertunjukan di sebuah pura di kawasan Peunayong Pecinan di Banda Aceh.
Pertunjukan barongsai sering diadakan di daerah itu pada hari libur Cina seperti Tahun Baru Imlek.
sumber gambar, Badak abonita
Ratih Puspasari dan Ceizzhiya Azilla Camilin bersama atlet barongsai mereka di Golden Dragon Gym.
Setelah melihatnya dua kali, Ratih bertekad untuk mendaftar sebagai salah satu atlet barongsai. Posisi, drummer simbal.
“Tepat dalam latihan musik,” kata Ratih.
Saat itu Ratih bersama temannya Maisarah Fatmawati tercatat oleh Forum Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) sebagai atlet barongsai Aceh pertama.
Namun Maisarah memutuskan untuk meninggalkan panggung pada tahun 2017.
Awalnya, Ratih mengaku ditolak oleh keluarga dan teman-temannya. Orang tuanya bahkan tidak mengizinkannya bergabung dengan tim barongsai.
Alasan utama sikap orang tuanya berkaitan dengan budaya. Barongsai, konon, bukanlah budaya Islam, dan mayoritas team building di gym adalah keturunan Tionghoa.
Di masa lalu, Ratih sering diingatkan oleh ibu dan ayahnya untuk “tidak terlalu bergaul dengan orang-orang Naga Emas”.
Ketika Ratih mengundang teman-temannya dari gym ke rumahnya saat perayaan Idul Fitri 2014, dia ingat bagaimana ayahnya bahkan tidak mau bergabung dengan tamu yang datang.
“Jangan duduk bersama, hanya menyapa, lalu pergi,” kenang Ratih.
Namun seiring berjalannya waktu, sikap dingin sang ayah memudar. Dalam hal iman, Ratih tidak pernah mengecewakan orang tuanya. Apalagi setelah melihat berbagai prestasi yang diraih Ratih dan timnya.
sumber gambar, ABONITA RINO
Suasana latihan di Golden Dragon Lion Dance Gym Banda Aceh.
Kini sudah delapan tahun Ratih menjadi atlet barongsai. Bersama timnya ia telah mengikuti berbagai turnamen, dari tingkat nasional hingga internasional.
Di antara semua yang diikuti timnya, yang paling bergengsi adalah turnamen internasional di Kota Gongyi, Provinsi Henan, China pada 2019.
Dalam hal ini, Golden Dragon terpilih sebagai tim dengan performa terbaik.
Sepeninggal ayahnya, ia mengaku ibunya mendukung penuh kariernya sebagai atlet barongsai.
Lulusan administrasi bisnis yang bekerja di bagian akuntansi sebuah hotel di kawasan Peunayong ini bahkan berencana menikah lagi dengan atlet barongsai yang sudah memutuskan masuk Islam, Martin.
‘Mengapa bergabung dengan barongsai?’
sumber gambar, ABONITA RINO
Chiezzhiya Azilla Camilin berolahraga di Golden Dragon Gym.
Atlet barongsai berhijab lainnya di sasana Golden Dragon bersama Ratih adalah Ceizzhiya Azilla Camilin, 12 tahun. Berbeda dengan Ratih yang awalnya tidak didukung oleh orang tuanya, Ceizzhiya malah diminta oleh ibunya untuk mendaftar di sasana Golden Dragon pada 2019.
Ceizzhiya sudah mengenal barongsai sejak TK. Dulu, ia dan keluarganya senang menyaksikan atraksi barongsai yang diadakan di Kota Langsa dalam rangka memperingati HUT RI 17 Agustus.
Setelah bergabung dengan Naga Emas, Ceizhiya sering mendapat komentar negatif dari teman-teman sekelasnya di sekolah dasar.
“Banyak yang bilang, Apa pekerjaanmu ikut barongsai, buang-buang waktu saja, percuma saja,” ujarnya menirukan.
“Ada juga yang bilang nanti boleh ikut agamanya, disuruh menyembah apa yang mereka sembah,” kata Ceizzhiya kepada wartawan Aceh Rino Abonita melalui telepon tentang penghinaan mantan temannya yang diberitakan BBC News Indonesia, Selasa (01/01/2020). 01/2020). 11).
Tidak seperti Ratih, yang memilih untuk tidak mengabaikan ungkapan rasis dan menghasut ini, Ceizzhiya mencoba membantah tuduhan teman-temannya.
“Buktinya saya ikut barongsai sejak 2019, tidak ada salahnya,” jawab Ceizzhiya.
Sebuah tim yang saling menjaga
Selain dukungan keluarga, Ratih dan Ceizzhiya kini mengaku merasa nyaman bergabung dengan Tim Golden Dragon Lion Dance karena latihan toleransi antaragama di sasana tersebut.
“Karena mereka bersama, mereka saling mengingat meski berbeda. Bagaimanapun, yang terbaik adalah mereka juga Muslim bagi kita. Nggak apa-apa, oh dia pakai hijab, itu saja, tapi sama saja,” kata Ratih.
Ratih bercerita bahwa ketika tiba waktu sholat, teman-temannya sering mengingatkan dia dan Ceizzhiya untuk segera beribadah.
“Misalnya azan itu, kan, terdengar dari tempat latihan atau saat kita sedang jalan-jalan. [Mereka mengingatkan]”Oh, itu sudah adzan, kamu tidak sholat dulu, lalu kita pergi,” kata Ratih.
“Misalnya kalau ada acara selalu mengingatkan untuk sholat dulu. Tidak pernah ada paksaan,” tambah Ceizzhiya.
Teman-teman mereka, kata kedua atlet itu, sering mengingatkan Ratih dan Ceizzhiya ketika melihat rambut teman Muslimnya mencuat dari balik jilbabnya.
sumber gambar, Badak abonita
Chong Lie, salah satu pelopor dan pelatih dari Golden Dragon Lion Dance Gym.
Salah satu pionir dan pelatih Golden Dragon, Chong Lie, mengatakan bahwa ia selalu berusaha mengisi gym yang ia promosikan dengan suasana yang harmonis.
Seiring dengan Ratih dan Ceizzhiya, Golden Dragon saat ini memiliki empat atlet wanita, semuanya di lini musik pengiring. Anggota lainnya juga berasal dari latar belakang agama lain.
“Naga Emas kita berusia sekitar dua belas atau tiga belas tahun. Semua agama ada kecuali Hindu. Islam, Kristen, Katolik, Protestan, Budha ada,” kata Chong Lie saat berbicara, Kamis (3/11).
Dia juga mengatakan dia mencoba untuk meredam komentar rasis kepada murid-muridnya, seperti yang terjadi pada Ratih ketika foto gadis itu menjadi viral di Facebook pada tahun 2014.
“Biasa, bahasa planet, bahasa hewan [makian]’ Chong Lie mengatakan tentang komentar ‘jahat’ dari netizen saat itu.
Saat itu, Chong Lie secara khusus mendesak Ratih dan rekan-rekan atletnya untuk tidak mengindahkan komentar tersebut, karena khawatir akan memperburuk keadaan.
“Saya rasa tidak perlu saya balas di media sosial, baik untuk membuat kepala saya panas. Jika saya terus memberikan instruksi kepada anak-anak, jangan khawatir. [dibalas]kata Chong Lie.
“Prasangka Warisan”
sumber gambar, Badak abonita
Penampakan mural di salah satu dinding bangunan komersial di kawasan Pecinan Banda Aceh, Peunayong.
Pada Agustus 2012, pemerintah Banda Aceh melarang pertunjukan barongsai dengan dalih akan mencemari bulan suci Ramadhan.
Saat itu, sebuah organisasi masyarakat sipil berinisiatif merayakan tujuh tahun Perdamaian Aceh dengan barongsai sebagai bentuk keberagaman etnis di beranda Mekah.
Larangan tersebut dikeluarkan dalam bentuk surat resmi dari Pemerintah Kota Banda Aceh nomor 450/0892 tanggal 10 Agustus 2012, yang dikeluarkan langsung oleh Plt. Wali Kota Banda Aceh Teuku Saifuddin TA.
Menurut antropolog Aceh Muhajir Al-Fairusy, munculnya fenomena sentimen anti-Cina di Aceh dan segala hal terkait tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh situasi politik pada masa Reformasi 1998 di Indonesia.
Gejolak Reformasi 1998 dibarengi dengan kerusuhan yang berujung pada kekerasan anti-Cina (Cina) mulai dari penjarahan, pemerkosaan hingga pembunuhan.
Beberapa penelitian mengungkap adanya prasangka pribumi yang menyalahkan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam atas ketimpangan ekonomi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan.
Sentimen anti China, kata Muhajir, merembet ke Aceh.
Padahal, kata Muhajir, kota Banda Aceh sendiri dibangun secara simbolis dengan peran besar yang dimainkan oleh orang Tionghoa di dalamnya.
Misalnya, lanjutnya, di balik pembangunan Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan ikon Provinsi Aceh, terletak peran kontraktor dan buruh dari negeri tirai bambu.
sumber gambar, ABONITA RINO
Masjid Raya Baiturrahman.
“Nah, itu nyambung. Budaya barongsai yang dimainkan oleh teman-teman Tionghoa Tionghoa dimaknai oleh sebagian kalangan konservatif sebagai bentuk perpaduan,” jelas Muhajir dalam pertemuan, Jumat (11 April).
Penggabungan yang disebutkan oleh Muhajir mengacu pada asimilasi budaya Cina dan Aceh melalui gadis-gadis Muslim seperti Ratih yang bergabung dengan klub barongsai.
Orang-orang yang disebut Muhajir “konservatif” tidak menyukai ini, sehingga membuat mereka marah.
“Teman konservatif cenderung banyak bicara, bukan? Mereka cenderung berpikir sesuatu yang Cina adalah sesuatu yang haram, itu adalah dosa.”
Prasangka bahkan telah diturunkan ke generasi muda, seperti Ratih dan teman-teman sekolah Ceizzhiya, yang “merasa bertanggung jawab untuk melindungi kedua gadis itu dari merusak keyakinan mereka,” kata Muhajir.
Menurutnya, fenomena seperti itu dapat dijelaskan oleh temuan antropolog Belanda Martin van Bruinessen tentang gejala putaran konservatif atau berbelok ke arah konservatif.
“Di mana fenomena konservatif muncul di masyarakat kita?