- Haider Affan
- Wartawan BBC News Indonesia

sumber gambar, Gambar Getty
Petugas kepolisian berjaga di lokasi kejadian di dekat Mapolres Astanaanyar, Bandung, Rabu (07/12).
Diperkirakan hingga 10% narapidana teroris yang dibebaskan di Indonesia kembali melakukan atau mendukung kejahatan kekerasan.
Salah satu faktor penyebabnya adalah pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk memaksa narapidana teroris untuk mengikuti program deradikalisasi selama dalam tahanan atau setelah pembebasan mereka.
Ini adalah hasil dari sebuah badan independen yang menangani masalah terorisme.
Keterbatasan sumber daya juga dianggap sebagai kendala utama untuk memantau secara ketat mantan teroris yang telah kembali ke masyarakat.
Isu ini kembali mengemuka setelah seorang mantan napi terorisme melakukan serangan bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar Kota Bandung pada Rabu (12/7/2022) yang menewaskan pelaku dan seorang polisi.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut, tantangan utama dalam pelaksanaan program deradikalisasi adalah koordinasi dan kerja sama berbagai pihak terkait.
Untuk mensukseskan program deradikalisasi, harus dilakukan upaya yang melibatkan masyarakat dan keluarga, tidak hanya mengandalkan BNPT dan kepolisian.
“Orangnya tertutup, tidak mau bicara”
Tak lama setelah polisi mengungkap identitas tersangka pelaku bom bunuh diri di Mapolres Astanaanyar, Bandung, Rabu (12/07), petugas Densus 88 menggerebek sebuah rumah kos di Sukoharjo, Jawa Tengah.
“Sebelumnya, Densus 88 melakukan penggeledahan di salah satu rumah kos di kawasan itu [Desa Siwal, Kecamatan] Baki,” kata Kapolres Sukoharjo AKBP Wahyu Setyawan Nugroho.
Agus Sudjadno alias Agus Muslim, terduga pelaku bom bunuh diri, tinggal di rumah kontrakan bersama istrinya.
Endang, salah satu teman sekamarnya, menceritakan sikap pendiam keluarganya.
“[Agus Sudjadno] orang tertutup Tidak pernah berkata Tidak sudah keluar
“Istrinya jika Menangis adalah tanda tanya. Karena pintunya dikunci,” kata Endang, seperti dilansir wartawan di Solo, Fajar Sodiq, kepada BBC News Indonesia, Rabu (07/12).
sumber gambar, Fajar Shadiq
Pensiun Agus Muslim di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (07/12). Agus adalah terduga pelaku bom bunuh diri di Mapolres Astanaanyar, Bandung.
Agus mengaku bekerja sebagai penjaga taman atau berjualan kue.
Endang dan teman sekamarnya tidak mengetahui bahwa pria ini ahli membuat bom dan dipenjara atas tuduhan terorisme di Nusa Kambangan.
“[Agus dan keluarganya] Ini September 2021. Ini istrinya (copy KTP), suaminya Tidak ada KTP-nya,” kata pemilik wisma, Surati.
Mereka juga tidak tahu pria itu adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung atau Jawa Barat, kata polisi.
sumber gambar, Gambar Getty
Untuk mensukseskan program deradikalisasi, harus dilakukan upaya yang melibatkan masyarakat dan keluarga, tidak hanya mengandalkan BNPT dan kepolisian.
Program deradikalisasi bukanlah “program wajib”
Di Kota Bandung, saat meninjau lokasi kejadian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengatakan, Agus menolak mengikuti program deradikalisasi selama masa penahanannya.
Ketika ditanya wartawan apakah Agus termasuk dalam “kelompok yang masih merah” selama ditahan dan setelah dibebaskan, ia mengikuti program deradikalisasi.
“Jadi proses deradikalisasi memerlukan teknik dan taktik yang berbeda karena yang terdampak masih sulit dijangkau, masih cenderung menghindar,” kata Listyo seperti dikutip wartawan Bandung, Yuli Saputra, yang bekerja untuk BBC News Indonesia, Rabu (07/07). 12) .
Selama dalam tahanan, narapidana teroris tidak diwajibkan mengikuti program deradikalisasi yang dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT, atau Densus 88.
sumber gambar, Gambar Getty
Warga berbondong-bondong mendatangi TKP di dekat Mapolres Astananyar, Bandung, Rabu (12/07).
Fakta tersebut, menurut Noor Huda Ismail, Ketua Organisasi Kreasi Prasasti Prestasi yang utamanya menangani isu kontra terorisme, membuat program deradikalisasi belum berjalan maksimal.
“Hanya bisa [dilakukan program deradikalisasi] bagi yang mau.
“Mereka yang masuk ‘kelompok merah’, kata Kapolri, tidak akan diikutsertakan dalam program itu,” kata Noor Huda kepada BBC News Indonesia, Rabu.
Idealnya, kata Noor Huda, semua narapidana teroris harus menjalani program deradikalisasi.
“Karena ada ‘lubang’. Ada lubang, kami tidak tahu. Karena setelah benar-benar bebas, kami tidak bisa melacak kondisinya,” kata Noor Huda.
sumber gambar, chevening.org
Idealnya, kata Noor Huda, semua narapidana teroris harus menjalani program deradikalisasi.
Bagaimana tanggapan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)?
Anggota Komisi III DPR Santoso mengatakan, BNPT “diabaikan” dengan kasus bom bunuh diri mantan teroris di Bandung.
“Dalam aksi bom bunuh diri itu, pihak BNPT lengah,” kata Santoso dalam keterangannya yang dikutip DiantaraRabu (12/7/2022).
Sementara itu, Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan kepada media bahwa pihaknya dirindukan. Dia mengatakan “tidak mudah membaca pikiran teroris”.
sumber gambar, Detikcom/Rakean R Natawigena
Kepala BNPT Boy Rafli mengatakan, upaya pemberantasan terorisme tidak bisa dilakukan sendiri oleh BNPT dan aparat penegak hukum.
“Ideologi terorisme berasal dari kepala. Bisakah kita langsung melihat dari pemikiran apa yang ada di benak orang Indonesia?” ujar Junge, Rabu (07/12).
Boy Rafli mengatakan, upaya membendung penyebaran terorisme tidak bisa dilakukan sendiri oleh BNPT dan aparat penegak hukum.
Namun, masyarakat juga harus saling membantu untuk melindungi wilayah dan orang-orang di sekitarnya dari ideologi ini.
“Kejadian ini bisa terjadi, serang siapa saja, targetkan siapa saja,” jelasnya.
“Sekitar 10% mantan teroris akan kembali melakukan kekerasan”
Noor Huda Ismail mengatakan, kasus bom bunuh diri yang pelakunya mantan teroris itu terjadi “untuk kesekian kalinya” di Indonesia.
Dia kemudian merujuk data yang menunjukkan bahwa setidaknya 10% eks teroris yang dibebaskan telah kembali mendukung atau melakukan aksi kekerasan.
“Nah, kalau orang [eks napi teroris] yang free sekitar 1000 orang, nanti ada 100 orang yang balik lagi [menjadi teroris]yang tertangkap,” kata Noor Huda, Rabu (07/12).
sumber gambar, ANTARA FOTO
Anggota Brimob berjaga di kawasan Astanayar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/7/2022).
Belum lagi apakah mereka akan kembali “membenarkan” kekerasan dengan berganti peran, kata Noor Huda, yang mungkin tidak akan ditemukan lagi.
“Ganti peran, misalnya dia tidak terlibat langsung dalam aksi terorisme, tapi menasihati atau memberikan jaringan,” ujarnya.
Bagaimana Anda memantau mantan teroris?
Kapolri Jenderal Listyo Sigit dalam jumpa pers di Bandung, Rabu (12/07), mengatakan, polisi terus “menganiaya” yang bersangkutan pasca pembebasan Agus Muslim.
Namun, menurut Noor Huda, pengawasan terhadap mantan teroris yang dirilis bukanlah hal yang mudah.
Karena itu, dia setuju untuk melibatkan masyarakat dan berbagai kementerian dalam memerangi terorisme.
“Misalnya Kementerian Sosial, RT/RW. Jadi tidak keamanan aktifdiri (hanya tugas satpam saja)” ujarnya.
sumber gambar, Gambar Getty
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris dalam keterangan tertulisnya kepada BBC Indonesia mengakui bahwa tantangan utama mereka adalah “koordinasi dan kerja sama antar otoritas”.
“Karena kalau hanya untuk keamanan, yah, tidak akan bisa menangkap. Timnya hilang,” kata Noor Huda.
“Misalkan di Jawa Tengah ada 200 mantan narapidana yang bebas, bahkan tidak ada 10 tim pengintai.
“Untuk memahami dinamika 100 orang, meminta maaf itu memusingkan. Misalnya, berapa banyak logistik yang Anda butuhkan setiap hari. Ini upaya,” tegas Noor Huda.
Di sini pihaknya melibatkan keluarga mantan teroris untuk mencegah mereka kembali ke dunia lama mereka.
Hal itu ia tekankan karena belum semua mantan napi mampu “menerima” kehadiran negara.
“Tapi kalau bisa melalui pendekatan ibunya, istrinya, anak-anaknya atau masyarakat terdekatnya,” kata Noor Huda.
Jadi tidak sembrono dengan program deradikalisasi di lapas, tapi juga terhadap keluarga dan masyarakatnya.
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris dalam keterangan tertulisnya kepada BBC Indonesia mengakui bahwa tantangan utama mereka adalah “koordinasi dan kerja sama antar otoritas”.
Kisah mantan teroris yang bertobat
Arif Budi Setyawan, mantan napi teroris yang mengaku pindah agama, menceritakan pengalamannya lepas dari jaringan teroris yang pernah ia ikuti.
Arif divonis empat tahun sepuluh bulan penjara beberapa tahun lalu. Ia terlibat dalam pendanaan aksi terorisme sebagai kurir senjata.
Selama eks teroris masih mendapat dukungan dan bergantung pada jaringan teror, akan sulit baginya untuk melarikan diri.
“Jadi, jika seorang terpidana ingin mendukung negara kesatuan Republik Indonesia, akan ada banyak pertimbangan. ‘Kalau saya negara kesatuan Republik Indonesia, maka dukungan itu akan dicabut.’ “Bagaimana dengan istri saya, apakah dia masih bisa mendapat ganti rugi?” Arif mencontohkan.
sumber gambar, Berita BBC Indonesia
“Semakin dia terhubung ke jaringannya dan merasa nyaman, semakin lama prosesnya untuk keluar [dari jaringan terorisme]’ kata Arif.
“Semakin dia terhubung ke jaringannya dan merasa nyaman, semakin lama prosesnya untuk keluar [dari jaringan terorisme]’ kata Arif.
Hal ini semakin parah ketika masyarakat tidak peduli dan menjauh dari mantan teroris dan keluarganya.
“Karena semakin mereka percaya bahwa ‘orang yang bisa mengerti saya, ya, orang-orang di kelompok saya yang akan membantu saya’,” kata Arif.
Di sinilah peran masyarakat menjadi penting untuk ikut serta dalam program deradikalisasi mantan napi teroris.
“Karena saatnya tiba [ke rumah eks napiter] Kalau petugas BNPT atau polisi, pasti ditolak,” ujarnya.
Sebaliknya, ketika orang datang, mereka sulit menolak. Tentu saja, orang-orang di sini perlu memahami masalah psikologis.
“Bagaimana mendekati teroris dan keluarga mereka, bagaimana menemukan titik masuk yang tepat untuk memulai.”
“Bagaimana dia melebur, mengubah cara pandang, membuatnya ingin keluar dari kelompok lamanya,” kata Arif.