- Rebecca Laurence and Lindsay Baker
- BBC Culture

Sumber gambar, Malte Mueller/Getty
Dari novel surealis karya peraih Booker Prize 2022, Shehan Karunatilaka, hingga novel Annie Ernaux yang memenangi Nobel Sastra tahun ini, Annie Ernaux. Inilah buku-buku pilihan tahun 2022 versi BBC Culture.
‘Fairy Tale‘ karya Stephen King
Ditulis saat lockdown pandemi Covid-19, karya Stephen King terbaru ini adalah kisah fantasi yang melompat-lompat.
Tokoh utamanya adalah Charlie Reade, bocah berbakat berusia 17 tahun yang kehilangan ibunya dalam kecelakaan mobil.
Dia kemudian merawat ayahnya, pecandu alkohol yang diselimuti duka.
Sumber gambar, Astrid Stawiarz/Getty
Stephen King.
Charlie kemudian berteman dengan sosok Bowditch yang tertutup dan anjing gembala Jermannya nan renta, Radar.
Dalam pertemanan itu, Charlie menemukan di gudang rumah Bodwitch, sebuah portal ke kerajaan Empis, di mana orang-orang – berpenyakit fatal yang disebut “The Grey” – menghadapi kejahatan mengerikan.
Digambarkan sebagai “perpaduan antarteks multiverse-traversing, genre-hopping (‘melompat’ dari satu genre ke genre lainnya) oleh New York Times, ‘Fairy Tale’ adalah, demikian The Guardian, sebagai “antik, karya abadi King, suguhan yang menggerakkan sekaligus menakutkan”. (RL)
‘Getting Lost’ karya Annie Ernaux
“Kualitas yang membedakan tulisan Ernaux tentang seks dari penulis-penulis lain adalah sama sekali tidak ada rasa malu,” tulis The Guardian tentang memoar hubungan cinta nan-panas selama 18 bulan antara Ernaux dan diplomat Rusia yang sudah menikah.
Kisahnya diawali di Leningrad pada 1988 dan berlanjut ke Kota Paris.
‘Getting Lost’ (yang diterbitkan dalam edisi terjemahan tahun ini) adalah buku kedua Ernaux yang dilatari perselingkuhan itu.
Novel pertamanya, yang sedikit berbau memoar, Simple Passion terbit pada 1991.
Sumber gambar, Louis MONIER/AFP
Annie Ernaux, 1992.
Tidak lama berselang, dia meraih Nobel Sastra. Dan, Ernaux – kini berusia 80an – adalah selebriti sastra terkenal di Prancis.
Tulisannya tentang seks amatlah bebas, tanpa tedeng aling-aling, eksplisit dan subversif.
‘Getting Lost’, tulis The New York Times, “buku yang menggelisahkan… bagaimana rasanya diremuk-redam hasrat, segala impian manusia, yang bertolak belakang dari apa yang mereka terima.” (RL)
‘Nightcrawling’ karya Leila Mottley
Pada usia 20 tahun, Leila Mottley menjadi nominator termuda ketika Nightcrawling masuk daftar nominasi Booker Prize, dan novel itu langsung menjadi buku terlaris New York Times.
Kisah ini didasarkan kasus kejahatan pada 2015, yang ditandai eksploitasi seksual, korupsi, dan brutalitas di kantor kepolisian Oakland.
Sumber gambar, Ilya S. Savenok/Getty
Leila Mottley, 11 April 2022.
Tokoh utama novel ini adalah Kiara Johnson, 17 tahun, sosok protagonis sekaligus “salah satu pahlawan perempuan muda paling tangguh dan terbaik di zaman kita,” ujar Guardian.
“Pencarian kebenaran yang tak kenal lelah, ‘Nightcrawling’menandai kehadiran penulis muda mempesona dengan suara dan visi yang tak akan mudah sirna dari benakmu.”
‘Nightcrawling’ adalah, demikian iNews, “debut luar biasa yang mengharukan”. (LB)
‘After Sappho’ karya Selby Wynn Schwartz
Dikisahkan dalam serangkaian sketsa, ‘After Sappho’ membayangkan kembali kehidupan sekelompok feminis, seniman, dan penulis termasyur di masa silam.
Di antaranya adalah Colette, Josephine Baker, Virginia Woolf dan Sarah Bernhardt, masing-masing menghadapi rintangan dan berjuang demi kebebasan dan keadilan.
Sumber gambar, Simone Padovani/Getty
Selby Wynn Schwartz, 15 Agustus 2022.
Menurut Irish Times, ‘After Sappho’ “memenuhi janjinya sendiri dengan kekuatan gaya luar biasa dan gairah meluap-luap”.
The Guardian berujar: “[Dengan] kalimat datar mengalir dan menjadi lirik indah… [After Sappho] adalah buku yang sepenuhnya terhanyut oleh rayuan dan pada gilirannya dia menghanyutkan.” (LB)
‘Our Missing Hearts’ karya Celeste Ng
Dari penulis buku terlaris pada 2017, ‘Little Fires Everywhere’, novel distopia ini berlatar situasi di Amerika Serikat pascakrisis yang ditandai praktek penyensoran dan pelarangan buku.
Saat itu, anak-anak dipisahkan secara paksa dari orang tuanya, dan orang-orang – terutama masyarakat Asia-Amerika – dikutuk karena sepak terjangnya dianggap “sama sekali tidak Amerika”.
Bird yang berusia dua belas tahun tinggal bersama ayahnya, profesor linguistik berbakat yang dipaksa menyimpan buku-bukunya di perpustakaan, sementara ibu Bird – penyair China-Amerika terkemuka – menghilang tiga tahun sebelumnya.
Sumber gambar, David Levenson/Getty
Celeste Ng, 2019.
Pencarian Bird untuk menemukan sang ibu membawanya ke jaringan bawah tanah pejuang perlawanan pustakawan, dan kelak membawanya kepada anak-anak yang dipisahkan dari orang tuanya.
“Keahlian Ng bercerita tentang kekejaman pemerintah dan bala tentaranya yang membayangi warga biasa, dan perlawanannya, adalah kesaksian terbaiknya,” tulis NPR.
Adapun Vogue menyebut ‘Our Missing Hearts’ sebagai “sebuah dongeng gelap tentang dunia yang menanggalkan akal sehatnya”. (RL)
‘The Seven Moons of Maali Almeida’ karya Shehan Karunatilaka
Terpilih sebagai pemenang Booker Prize, ‘The Seven Moons of Maali Almeida’ menceritakan kisah ajaib seorang fotografer perang yang terbangun dari kematiannya, sepertinya di sebuah kantor visa surga.
Di akhirat, dikelilingi hantu-hantu, dia memiliki tujuh bulan untuk menghubungi pria dan perempuan yang paling dia cintai.
Sumber gambar, DANIEL LEAL/GETTY
Shehan Karunatilaka.
Novel itu “menggerakkan energi, citra, dan ide-ide dengan visi nan luas dan surealis tentang perang saudara Sri Lanka” kata para tim juri.
The Guardian mengatakan novel itu “mengingatkan kecerdasan dan surealisme ‘Dead Souls’ karya Nikolai Gogol atau ‘The Master and Margarita’ Mikhail Bulgakov… Karunatilaka telah menuntaskan keadilan artistik pada periode mengerikan dalam sejarah negerinya.” (LB)
‘The Colony’ karya Audrey Magee
“Novel ‘The Colony’ berisi banyak orang – keluarga, para pria dan kaum perempuan, di sebuah komunitas pedesaan – dengan sebagian besar hanya terlihat di permukaan, seperti kedipan senyum atau kemunculan hiu di dalam air,” tulis John Self di The Times.
Novel ini memotret suatu musim panas di pulau kecil di lepas pantai Irlandia.
Sumber gambar, Stuart C. Wilson/Getty
Audrey Magee, 2014.
Dua pengunjung terpisah – seorang seniman dan ahli bahasa, keduanya berusaha menangkap kebenaran dan esensi tempat itu – memaksa penduduk pulau itu untuk mempertanyakan nilai dan keinginan mereka sendiri.
“Keras dan tegas,” tulis Financial Times, “‘The Colony’ adalah novel tentang hal-hal besar dan sesuatu yang penting.” (LB)
‘The Last White Man’ karya Mohsin Hamid
Penulis ‘The Reluctant Fundamentalis’ (2007) dan ‘Exit West’ (2017), Mohsin Hamid meminjam kecerdasan ‘Metamorphosis’ Franz Kafka untuk menggambarkan secara imajinatif tentang ras dan rasisme melalui karakter Anders, pria kulit putih yang tinggal di kota kecil AS , yang terbangun di suatu pagi dan menemukan kulitnya berubah menjadi gelap.
Saat Anders mulai terlibat konflik dalam kehidupannya dan hubungannya dengan orang lain; dan karena semakin banyak orang mengikutinya, kekerasan dan kerusuhan pun meletus di jalanan.
Sumber gambar, Thomas Lohnes/Getty
Mohsin Hamid (tengah), Oktober 2022.
“Untuk sebuah novel yang mengeksplorasi fungsi dan anggapan rasisme, ‘The Last White Man’ adalah kisah penuh harapan,” tulis The Washington Post.
The Last White Man adalah “novel pendek dengan kalimat amat panjang”, demikian tulis The Guardian, yaitu “[sebuah] kisah alegoris yang ganjil dan indah… menarik untuk dibaca, seolah-olah diceritakan sebagai cerita rakyat kepada generasi mendatang. ” (RL)
‘Trust’ karya Hernan Diaz
“Sebuah cerita yang menggabungkan beberapa genre, tanpa terpaku pada waktu, perihal kalangan elit New York pada 1920an dan masa Depresi Hebat,” adalah cara Vanity Fair menggambarkan novel ‘Trust’ karya Hernan Diaz, finalis penghargaan Pulitzer untuk novelnya ‘In the Distance’ (2017).
Satu pasangan legendaris asal New York bangkit ke puncak dunia dengan kekayaan yang sepertinya tak ada habis-habisnya – tetapi berapa biaya hidup yang digelontorkan?
Sumber gambar, Simone Padovani/Getty
Hernan Diaz, 2022.
Novel Diaz menempatkan pertarungan berbagai narasi ke dalam dialog satu sama lain, menghasilkan teka-teki yang mengeksplorasi bagaimana kekuatan dapat memanipulasi kebenaran.
Terpilih dalam daftar nominasi Booker Prize, ‘Trust’ adalah “novel yang mengejutkan, mengasyikkan, dan dituntaskan dengan indah,” kata Irish Times, yang “mengkonfirmasi Diaz sebagai ahli bercerita”. (LB)
‘Best of Friends’ karya Kamila Shamsie
‘Best of Friends’ adalah novel ketujuh Kamila Shamsie, penulis berlatar Pakistan-Inggris, mengeksplorasi seluk-beluk persahabatan melalui kehidupan dua perempuan yang sangat berbeda, Zahra dan Maryam.
Kamila Shamsie, reputasinya diakui melalui novelnya terdahulu ‘A God in Every Stone’ (2014) dan ‘Home Fire’ (2017) yang terlaris.
Dalam ‘Best of Friends’, kisah dibuka dengan kehadiran dua sahabat itu sebagai remaja di Karachi 1980an.
Sumber gambar, Fred Duval/Getty
Kamila Shamsie, 2015.
Mereka kemudian meraih kesuksesan saat berusia empat puluhan dan tinggal di London, tapi dengan pandangan politik yang sangat bertolak belakang.
Ketika peristiwa yang mengganggu dari masa lalu mereka muncul kembali, persahabatan mereka diuji.
“Ikatan yang mengakar dan rumit antara dua perempuan itulah yang membuat kami membalik-balik lagi halaman,” tulis The Spectator.
The Observer menyebutnya: “Kisah epik yang mengeksplorasi ikatan persahabatan masa kecil, kemungkinan semacam pelarian, cara dunia politik menyusup ke dalam kehidupan pribadi, semua melalui lensa dua protagonis yang ditarik dengan tajam.” (RL)
‘Booth’ karya Karen Joy Fowler
Kisah enam saudara kandung dan ketidakadilan yang menghancurkan ikatan mereka, ‘Booth’ adalah novel yang terpilih sebagai nominasi Booker-Prize, karya Karen Joy Fowler.
Karen Joy Fowler adalah penulis buku laris We Are All Completely Beside Ourselves.
Keenam orang itu tumbuh di pedesaan Baltimore pada 1830an ketika perang saudara semakin dekat. Masing-masing memiliki impian dan pertempuran mereka sendiri untuk diperjuangkan.
Sumber gambar, Ulf Andersen/Getty
Karen Joy Fowler, 2016.
Salah satunya, Johnny, membuat keputusan yang akan mengubah jalannya sejarah – pembunuhan Abraham Lincoln.
“Dalam rentang dan kedalaman imajinatifnya, Booth memiliki otoritas yang amat menggoda,” tulis The Guardian.
Novel tersebut, kata The Literary Review, “menangkap dengan ketegasan memikat tentang sebuah negara yang terperangkap cengkeraman populisme fanatik, terkoyak perbedaan politik yang tak dapat didamaikan dan mendidih dengan amarah dan amarah… “. (LB)
‘Shrines of Gaiety’ karya Kate Atkinson
Kate Atkinson meraih penghargaan Whitbread (kemudian diubah menjadi Costa) pada 1995 untuk novel pertamanya, ‘Behind the Scenes at the Museum’.
Dia telah menerbitkan beberapa novel – dua di antaranya juga memenangkan penghargaan Costa – termasuk ‘Life After Life’ (2013) yang kemudian diadaptasi menjadi serial TV BBC tahun ini.
Sumber gambar, Rune Hellestad/Getty
Kate Atkinson, 2014.
Berlatar kehadiran para penari, pemabok, dan gang preman “Roaring” London pada 1920an, novel ‘Shrines of Gaiety’ dipenuhi pesta seks, intrik, yang menyatu di sekeliling sosok Nellie Coker, pengusaha terkenal, bos beberapa klub malam Soho, London.
‘Shrines of Gaeity’, menurut The New York Times, “campuran desis dan melankolis, dituangkan dengan murah hati,” sementara Atkinson adalah “pengamat simpatik sisi kelemahan manusia, yang mampu mensketsa karakter dalam satu kalimat”.
Dan, novel ini adalah “keajaiban pengetahuan naratif”, tulis The Observer. (RL)
‘Cult Classic’ karya Sloane Crosley
Penulis esai New York Timess, Sloane Crosley, menggabungkan tema cinta, keberuntungan, dan hipsterisme untuk menciptakan anti-rom-com Kota New York, sekaligus sindiran atas kehidupan internet kaum milenial.
Publishers Weekly menggambarkan ‘Cult Classic’ sebagai “kisah jenaka dan fantastik tentang kencan dan psikologi eksperimental di New York City… Benar-benar kocak [dan] memiliki ketajaman kesadaran … Crosley menemukan subjek fiksi yang sempurna melalui ketajaman matanya”.
Sumber gambar, Craig Barritt/Getty
Sloane Crosley, Agustus 2022.
The Los Angeles Times, sementara itu, mengatakan: “Tulisan Crosley kocak, seperti biasanya, dengan pengamatan cerdas di hampir setiap halaman… Kesombongannya yang mempesona – menghibur dan meyakinkan dengan sendirinya – adalah mesin dari narasi, tetapi wawasannya tentang kehidupan kontemporer adalah bahan bakarnya.” (LB)
‘Young Mungo’ karya Douglas Stuart
Douglas Stuart, penulis ‘Shuggie Bain’ (2020) yang memenangi Booker Prize, sekali lagi mendapat pujian luar biasa untuk novel keduanya, kisah cinta memilukan antara seorang Protestan dan Katolik, yang bersatu melintasi lanskap Glasgow yang terpisah di era pasca-Thatcher.
“‘Young Mungo’ adalah kisah menegangkan yang dibungkus dengan novel psikologis.
Sumber gambar, Simone Padovani/Getty
Douglas Stuart, Agustus 2022.
“Sulit membayangkan karya fiksi yang lebih menggelisahkan dan kuat akan terbit dalam waktu dekat tentang bahayanya menjadi orang berbeda,” ujar Maureen Corrigan, kritikus buku dari acara Fresh Air di NPR.
“Jika novel pertama mengumumkan Stuart sebagai novelis yang sangat menjanjikan, novel ini menegaskan dia berbakat luar biasa,” tulis Alex Preston di The Observer. (RL)
‘The Candy House’ karya Jennifer Egan
Dalam novel karya Jennifer Egan berjudul ‘A Visit from the Goon Squad’ (2011), Bix Bouton tampil sebagai karakter minor.
Kini dia kembali sebagai seorang visioner teknologi pada pembukaan The Candy House, sebagai CEO raksasa internet Mandala yang tengah mencari “visi utopis” berikutnya.
Penemuan Bouton, ‘Own Your Unconscious’, adalah katalis untuk eksplorasi novel tentang akhir privasi di era digital dan bagaimana teknologi menjungkirbalikkan dunia.
Sumber gambar, Arturo Holmes/Getty
Jennifer Egan, Februari 2022.
Sementara itu, metafora godaan yang mendasari “candy house” Hansel dan Gretel meresap ke dalam buku.
Ini adalah novel yang “menggembirakan, begitu menyenangkan”, ujar Prospect, sementara The New York Times menyebutnya “istana spektakuler yang dibangun dari lubang kelinci”. (LB)
‘Either/Or’ karya Elif Batuman
Sekuel dari debutnya yang dinominasikan Pulitzer-Prize pada 2017, ‘The Idiot’, novel kedua semi-otobiografi Batuman melanjutkan petualangan Selin Karadag, seorang mahasiswa sastra Rusia di tahun keduanya di Universitas Harvard pada 1996.
Menggunakan karya filosof klasik Søren Kierkegaard sebagai titik awal, Batuman merenungkan makna hidup melalui teori filsuf Denmark itu tentang pilihan antara moralitas dan hedonisme, menggunakan silabus sastra sebagai panduannya.
Sumber gambar, Gary Leonard/Getty
Elif Batuman, 2010.
“‘Either/Or’ adalah sekuel yang memperkuat makna pendahulunya sambil memperluas cakupan filosofisnya,” tulis Charles Arrowsmith di The Washington Post, sementara Sophie Haigney di The New Republic memuji “pengamatan brilian dan lucu” dari Batuman. (RL)
‘Constructing a Nervous System’ karya Margo Jefferson
Dalam lanjutan buku ‘Negroland’ pada 2015, Margo Jefferson memadukan kritik dan memoar, mengingat pengalaman pribadi dan anggota keluarga yang hilang, serta tokoh jazz, artis, dan penulis yang dia kagumi.
Kritikus veteran ini memanfaatkan kekayaan hidup yang sarat pengalaman budaya, serta pemikiran baru tentang bagian yang dimainkan ras dalam hidupnya, serta membahas tema inti identitas perempuan kulit hitam.
Sumber gambar, Penguin Random House
‘Constructing a Nervous System’ karya Margo Jefferson.
“Pendekatannya adalah presentasi yang nyaris puitis dari fragmen-fragmen pengalamannya saat mereka memantulkan seniman yang karya dan kehidupannya dia anggap bermakna,” kata The Washington Post.
“Ini adalah pengalaman membaca yang luar biasa – ketika saya selesai membaca buku yang pertama, serasa ingin membaca ulang lagi.”
Atau, seperti yang dikatakan The Observer: “Mustahil untuk tidak tergerak oleh idenya kepada sesama pejuang keunggulan Amerika kulit hitam.” (LB)
‘In Love: A Memoir of Love and Loss‘ karya Amy Bloom
Hephzibah Anderson menjelaskan dalam tulisannya di The Guardian bahwa “memoar penuh keberanian” ‘In Love’… adalah kisah perjalanan sang novelis dan psikoterapis Bloom guna membantu suaminya untuk mengakhiri hidupnya, setelah didiagnosa Alzheimer dini pada 2019.
Sumber gambar, Ulf Andersen/Getty
Amy Bloom, 2008.
Narasi melompat bolak-balik, mendokumentasikan suasana frustasi dan kerumitan birokrasi yang dijumpai Bloom dan aspek pertimbangan etis terkait bantuan upaya menghakhiri hidupnya sendiri, seraya mendeskripsikan gambaran utuh tentang suaminya, arsitek Brian Ameche, dengan kecerdasan, kasih sayang dan humor gelap.
Memoar itu adalah bukti kuat hubungan pasangan yang “amat dekat” dan lembut, Salley Vickers kemudian menulis di The Guardian, bahwa Bloom “menulis tentang dia [Brian] dengan jiwa keberanian, cinta yang tak pernah lelah, dan buku ini memberikan kesaksian yang luar biasa.” (RL)
‘Love Marriage’ karya Monica Ali
Novel komedi tragis ‘Love Marriage’ mengungkapkan kisah Yasmin, dokter pemula dan tipikal penurut, yang semakin dekat hari pernikahannya, mulai membongkar asumsinya sendiri tentang orang-orang di sekitarnya.
Baik dia dan keluarga tunangannya menghadapi terungkapnya aneka rahasia, kebohongan, dan perselingkuhan, dan Yasmin harus bertanya pada dirinya sendiri apa sebenarnya arti “perkawinan cinta”.
Sumber gambar, David Levenson/Getty
Monica Ali, 2008.
Novel Monica Ali yang terbit pada 2003, ‘Brick Lane’ masuk nominasi Booker Prize, dan ini adalah bukunya yang paling terkenal semenjak saat itu.
Ini adalah “novel yang kaya, sensitif, dan sangat menghibur – novel kelimanya, dan mungkin yang terbaik,” kata TLS, dan “menyihir dengan begitu banyak pertanyaan dan alur cerita, sehingga kita terus mengharapkan salah satu dari mereka untuk membebaskan diri dan lepas sepenuhnya… namun semuanya tetap padu dan meyakinkan.”
The Spectator juga memuji novel itu: “Berani sengaja untuk jenaka,” katanya, dan “benar-benar hebat… sangat menyentuh.” (LB)
‘Tiepolo Blue‘ karya James Cahill
Don Lamb adalah sejarawan seni Universitas Cambridge berusia 40an yang tengah mengerjakan sebuah monografi tentang lukisan-lukisan cemerlang Venesia abad 18.
Pada 1994, dunia seni kontemporer berubah dengan cepat, dan setelah kecerobohan memalukan, Lamb dipecat dari Cambridge.
Dia kemudian diminta mengelola sebuah galeri di London Selatan, di mana ia bertemu Ben, seniman muda yang memperkenalkannya pada kehidupan malam hedonistik ibu kota dan membuat perhitungan dengan hasrat seksualitasnya.
Sumber gambar, Amazon
Novel ‘Tiepolo Blue’ karya James Cahill.
‘Tiepolo Blue’ menggabungkan “keanggunan formal dengan penceritaan mencekam,” tulis FT.
“Kegelisahan lezat pada novel pertama yang meyakinkan ini,” tulis Michael Donkor di The Guardian. (RL)
‘Fire Island: Love, Loss and Liberation in an American Paradise’ karya Jack Parlett
Hasil refleksinya membawanya kembali ke lokasi pesta queer yang terkenal di New York, dan novelis Jack Parlett memasukkan otobiografinya sendiri.
Hasilnya adalah sebuah memoar berbasis tempat tentang hedonisme, penemuan kembali, serta pembebasan yang sudah diakui secara luas.
The New York Times mengatakan: “[Karya Parlett] ringkas, cermat, berisi kronik kehidupan queer di ‘Fire Island…’ mampu menangkap, dengan sentuhan lirik sederhana, kekuatan lokal yang mempesona dan memalukan, memberikan kesenangan dan melambangkan sesuatu yang lenyap secara perlahan.”
Dipadati sejumlah sastrawan abad pertengahan – WH Auden, James Baldwin, Patricia Highsmith, semuanya hadir – buku ini mengeksplorasi budaya dan hierarki komunitas Fire Island.
‘Pure Colour’ karya Sheila Heti
Lanjutan dari novelnya yang terbit pada 2018, ‘Motherhood’, karya terbaru Sheila Heti ‘Pure Colour’ disebut sebagai “buku tentang bentuk kehidupan, dari awal hingga akhir”, dan mengkombinasikan antara hal nyata dan abstrak dan surealis dalam kisahnya tentang Mira.
Seorang calon kritikus seni, dia bertemu dan jatuh cinta dengan Annie, yang membantu Mira membuka portal dengan kekuatannya yang memukau.
Sumber gambar, Vince Talotta/Getty
Sheila Heti, 2010.
Belakangan, ketika ayahnya meninggal, Mira menjelma menjadi selembar daun dalam rentang yang panjang.
‘Pure Colour’ adalah “bijak sekaligus konyol, mengharukan dan tidak dapat dipahami” tulis Lily Meyer di NPR.
“Kiamat ditulis sebagai hipnotis, lagu orang yang tidur berjalan tentang akhir dari segalanya… Pure Colour adalah karya yang khas, sebuah buku yang mengatakan sesuatu yang baru untuk masa-masa sulit kita”, tulis Anne Enright di The Guardian. (RL)
‘Sea of Tranquillity’ karya Emily St John Mandel
Novel ‘Station Eleven’ yang terbit pada 2014 – sebuah kisah distopia tentang pandemi yang menghancurkan – membuat Emily St John Mandel terkenal, sekaligus meraih penghargaan Arthur C Clarke, serta dan juga menelurkan serial TV.
Buku terbarunya, kisah perjalanan waktu ‘Sea of Tranquillity’, dimulai pada 1912, di mana seorang imigran muda Inggris, yang tidak bersemangat, memulai kehidupan baru di Kanada.
Di sana, ketika menjelajahi di hutan, mengalami peristiwa mistis yang sulit dipahami.
Sumber gambar, Ulf Andersen/Getty
Emily St John Mandel, 2016.
Narasi bergerak maju ke masa sekarang, dan kemudian ke dua zona waktu futuristik, menenun bersama-sama benang yang berbeda.
Novel ini memiliki “bobot intelektual”, tulis The Scotsman, dan “St John Mandel adalah penulis cerdas, tajam, dan simpatik”.
‘Sea of Tranquility’, ujar The Guardian, “sangat ambisius dalam cakupannya, namun sekaligus intim dan ditulis dengan kefasihan yang anggun dan memikat.” (LB)
‘Memphis’ karya Tara M Stringfellow
“Nyanyian pujian bagi kaum perempuan kulit hitam,” tulis Kia Corthron di New York Times, tentang novel pertama penyair, pendongeng, dan mantan pengacara Tara M Stringfellow, yang mencakup 70 tahun dan meliputi tiga generasi: Hazel, putri Miriam dan August, serta sang cucu perempuan, Joan.
Memphis adalah, demikian Stringfellow, “sebuah ode untuk kota saya dan para perempuan kulit hitam yang tinggal di sini… penuh dengan misteri dan keajaiban dan humor dan ketabahan.”
The Irish Times memuji Stringfellow: “Karakter para perempuannya hidup, tangguh dan kocak, memperlihatkan warisan kekerasan rasial tak hanya dalam mikrokosmos keluarga atau kota, tetapi secara nasional.”
Adapun The Washington Post menulis: “Dengan gaya impresionisnya yang kaya , Stringfellow menangkap perubahan yang mengubah Memphis di paruh kedua abad ke-20.” (RL)
‘Time is a Mother’ karya Ocean Vuong
Dalam buku kumpulan puisi keduanya, yang ditulis setelah kematian ibunya, Ocean Vuong merenungkan kehilangan pribadi, makna keluarga, dan kelembutan dalam menghadapi kekerasan.
Puisi ‘Dear Rose’ ditujukan kepada ibunya yang sudah meninggal, tentang perjalanannya sebagai seorang imigran dari Vietnam ke AS.
Sumber gambar, Simone Padovani/Getty
Ocean Vuong, Agustus 2022.
“Karena Vuong bermain dengan waktu dalam hitungan milidetik – memperlambat atau mempercepat ingatan atau percakapan lama – dia mengungkap detail baru mencerahkan yang memiliki kehidupannya sendiri,” kata The Guardian.
Sementara, Artfuse menjelaskan ‘Time is a Mother’ sebagai “penyelidikan mempesona tentang cinta dan duka, nostalgia dan pelepasan yang menginspirasi”, dan dalam bahasa puisi, “mengenali trauma kematian, tetapi juga menikmati kemuliaan hidup”. (LB)
‘How High We Go in the Dark’ karya Sequoia Nagamatsu
Sebagian besar novel debut Nagamatsu diselesaikan sebelum 2020, dan tema-temanya akan mengejutkan pembaca dengan latar pengetahuan mereka sebelumnya.
Berlatar pada waktu mendatang, tim ilmuwan di Siberia menemukan jasad mumi perempuan prasejarah yang diberi nama “Annie”.
Mumi ini memiliki penyakit yang memicu bencana pandemi bernama “Wabah Arktik”.
Sumber gambar, Getty Images
Sequoia Nagamatsu, Januari 2022.
Nagamatsu berfokus pada umat manusia saat krisis menimpa, melompat 6.000 tahun ke depan untuk mengungkap masyarakat yang mengkomersialkan kematian, dan warisan jangka panjang dari keputusan masa lalu.
Ekspansif dan menentang berbagai genre penulis, diceritakan melalui kisah-kisah terpisah yang perlahan kemudian menyatu.
“Seperti foto Polaroid, ‘How High We Go in the Dark’ membutuhkan waktu untuk menunjukkan warna aslinya. Ketika akhirnya warna asli itu muncul, efeknya semakin mempesona,” tulis The Guardian.
Karya Nagamatsu ini, tulis New York Times, “tentang nestapa atas kehancuran yang kita timbulkan. Namun novel itu mengingatkan kita bahwa masih ada harapan dalam hubungan manusia, terlepas dari kepiluan kita.” (RL)
‘Burning Questions’ karya Margaret Atwood
Kini dalam dekade ketujuh dari karier sastranya yang luar biasa, Margaret Atwood telah menulis kumpulan esai ketiganya, yang menurut i newspaper, “melimpah dengan antusiasme dan semangat”.
Secara luas melihat peristiwa-peristiwa dalam dua dekade terakhir, cakupan subjeknya merata – mulai dari sensor dan sosok Obama, hingga #MeToo dan zombie.
Dan ada wawasan tentang keahliannya sendiri dan fungsi fiksi.
Sumber gambar, Mike Coppola/Getty
Margaret Atwood, 2018.
Seperti yang di katakan i newspaper: “Atwood selalu membuat ide pertanyaan besar yang lebih mudah dicerna.
Anda bertanya: apa yang bisa dilakukan fiksi? Apa yang bisa kita lakukan, secara umum?
“Esai-esai itu penuh dengan “hal-hal lucu, humor datar dan naluri mencela diri sendiri,” tulis The Guardian.
“Atwood tetap menjadi teman yang jujur dan baik.” (LB)
‘Bless the Daughter Raised by a Voice in Her Head’ karya Warsan Shire
Ini adalah koleksi puisi lengkap pertama Warsan Shire yang telah lama ditunggu-tunggu, setelah dua pamflet, ‘Teaching My Mother How to Give Birth’ (2011) dan ‘Her Blue Body’ (2015).
Buku ini hadir hampir enam tahun setelah penyair Somalia-Inggris ini menjadi terkenal setelah berkolaborasi dengan Beyoncé pada album visual inovatif, ‘Lemonade’ (2016) dan ‘Black is King’ (2020).
Sumber gambar, Rodin Eckenroth/Getty
Warsan Shire, 2019.
Puisi-puisi dalam ‘Bless the Daughter Raised by a Voice in Her Head’ diambil dari pengalaman Shire sendiri, yaitu kehidupan keseharian, sosok ibu, dan kisah migrasi para perempuan kulit hitam.
“Gambaran Shire yang sangat indah memanfaatkan kekhususan keperempuannya sendiri, kehidupan cinta, pergumulan dengan kesehatan mental, kesedihan, sejarah keluarga, dan cerita dari diaspora Somalia, untuk membuatnya bergema secara universal,” tulis Dfiza Benson di The Telegraph. (RL)
‘In the Margins: On the Pleasures of Reading and Writing’ karya Elena Ferrante
‘In the Margins’ adalah satu dari empat esai yang terjual laris, ‘Neapolitan Quartet’, yang ditulis Elena Ferrante – nama samaran – yang mengartikulasikan bagaimana dan mengapa dia menulis – dan inspirasi, perjuangan, dan evolusinya sebagai penulis dan pembaca.
Mulai dari filosofis hingga praktis, esai tersebut memberi pembaca wawasan tentang pikiran penulis yang penuh teka-teki, dan mencakup eksplorasi tentang apa itu sosok penulis.
Seperti yang dikatakan New York Times: “Bagi mereka yang ingin menggali seperti tikus tanah ke dalam pikiran penulis, Ferrante telah menyiapkan sebuah terowongan.” (LB)
‘Moon Witch, Spider King’ karya Marlon James
Novelis pemenang Booker Prize ini kembali dengan bagian kedua trilogi fantasi ‘Dark Star’nya, setelah ‘Black Leopard’, ‘Red Wolf’ pada 2019, yang awalnya digambarkan oleh penulis sebagai “African Game of Thrones” (dia kemudian bersikeras bahwa ini sekedar kelakar).
Sebuah kontra-narasi pada novel pertama yang berpusat pada sosok perempuan eksentrik, Moon Witch, Spider King follows Sogolon, antihero berusia 177 tahun, dan dari judulnya Moon Witch, ini adalah perjalanan epik penuh kekerasan.
Sumber gambar, Johnny Louis/Getty
Marlon James, Februari 2022.
“Seperti karakter Lisbeth Salander Afrika kuno,” tulis FT, “dia mendedikasikan kesendiriannya guna memberikan keadilan yang mematikan kepada pria yang menyakiti para perempuan.”
Memuji novel ini di The New York Times, Eowyn Ivey menulis, “Moon Witch menerangi jalan setapak saya dan menunjukkan kepada saya bagaimana seorang perempuan dapat menavigasi dunia yang berbahaya dan luar biasa ini”. (RL)
‘Olga Dies Dreaming’ karya Xochitl Gonzalez
Identitas, kaum elit, ras, dan kapitalisme adalah area yang dieksplorasi dalam novel berlapis-lapis ini, adalah karya pertama Xochitl Gonzalez.
“Debut yang mengesankan” ini, tulis Observer, “sangat memuaskan dan bernuansa… eksplorasi cinta yang lembut dalam berbagai bentuknya”.
Sumber gambar, sandiegouniontribune
Novel ‘Olga Dies Dreaming’ karya Xochitl Gonzalez.
Berlatar di New York City pada bulan-bulan di sekitar badai dahsyat di Puerto Rico, ‘Olga Dies Dreaming’ mengikuti kisah perencana pernikahan Olga dan saudara laki-lakinya yang juga anggota kongres, Prieto.
Perselisihan keluarga, korupsi politik, dan gagasan tentang impian Amerika, semuanya ditampilkan dalam novel yang “sangat hangat namun sepenuhnya tanpa kompromi” ini, ujar The Skinny. (LB)
‘Glory’ karya NoViolet Bulawayo
NoViolet Bulawayo menjadi perempuan kulit hitam Afrika pertama – dan warga Zimbabwe pertama – yang terpilih dalam nominasi Booker Prize, dalam debutnya pada 2013, ‘We Need New Names’.
Sembilan tahun kemudian, ‘Glory’ adalah dongeng – terilhami karya George Orwell – berlatar kerajaan hewan Jidada, yang menyindir kudeta yang menggulingkan Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, pada 2017.
Sumber gambar, DANIEL LEAL/Getty
NoViolet Bulawayo, 2022.
Sebagai alegori yang sengit namun kocak, ‘Glory’ dapat dilihat sebagai pendamping karya Wole Soyinka pada 2021 yang isinya semacam satir atas kehidupan oranh-orangh Nigeria, yaitu ‘Chronicles from the Land of the Happiest People on Earth’.
‘French Braid’ karya Anne Tyler
Novel ke-24 Anne Tyler adalah “potret luar biasa kaya dari sebuah keluarga yang berubah-ubah,” menurut Evening Standard.
“Latar kisah Tyler terlihat tidak dramatis, tetapi ritmenya amat bagus.”
Novel ini menceritakan kisah keluarga Garrett selama enam dekade, dan seperti kebanyakan karya Tyler, adalah karya ansambel yang membentang dari generasi ke generasi, berlatar di Baltimore.
Sumber gambar, David Levenson/Getty
Anne Tyler, 2015.
Cerita dimulai dengan liburan keluarga di tepi danau, di mana keretakan muncul yang sebagian besar tidak disuarakan, dan yang terurai dalam kehidupan setiap anggota keluarga seiring berjalannya waktu.
Ini “benar-benar menyenangkan,” kata The Guardian, “dan pada titik ini setiap buku Tyler adalah ganjaran”.
‘French Braid’ adalah “lucu, pedih, murah hati … itu menunjukkan selalu ada cahaya baru untuk ditumpahkan, apa pun situasinya, hanya dengan satu putaran prisma.” (LB)
‘To Paradise’ karya Hanya Yanagihara
Novel ketiga Yanagihara yang sangat dinanti-nantikan mengikuti karya terlarisnya, dan masuk nominasi Booker Prize 2015, ‘A Little Life’.
‘To Paradise’, yang dirilis pada Januari dengan pujian dan sekaligus perbedaan pendapat, seperti pendahulunya, tulisannya panjang (720 halaman) dan berkutat pada kesengsaraan ketimbang kegembiraan, sehingga menuai kritik di beberapa bagiannya.
Sumber gambar, NIKLAS HALLE’N/Getty
Hanya Yanagihara, 2015.
Multi-bentuk, dan berlangsung selama tiga abad, ini adalah karya menarik dan sangat ambisius, menawarkan tidak kurang dari upaya menyajikan narasi alternatif tentang Amerika Serikat, melalui kehadiran Kota New York pada 1890-an, Hawaii, dan akhir abad ke 21-an yang distopia.
“Tidak ada resolusi di sini, tetapi perasaan paling pedih dapat dilahirkan karya sastra,” tulis Vogue, sementara Boston Globe menyebutnya “bacaan yang kaya, emosional, dan menggugah pikiran.” (RL)
‘The School for Good Mothers’ karya Jessamine Chan
Frida Liu adalah orang tua tunggal yang bekerja. Dia membuat kesalahan dengan meninggalkan anaknya sendirian di rumah selama beberapa jam pada suatu sore.
Pihak berwenang dipanggil oleh para tetangga, dan putrinya Harriet diambil paksa darinya.
Frida diberi pilihan: kehilangan anaknya secara permanen, atau menghabiskan satu tahun di kamp pendidikan ulang yang dikelola negara bagi para ibu.
Di tempat itu, Frida dan para ibu lainnya harus merawat anak-anak robot yang ‘sangat hidup’, dilengkapi dengan kamera pengintai.
Menyebut novel ini “distopian” rasanya kurang tepat, tulis Wired.
“Mungkinkah karya ini mendekati distopia? Jaraknya yang tak jauh dari kenyataan inilah yang mengubah pukulan emosional buku itu menjadi pukulan telak.”
Menurut New York Times, ‘The School for Good Mothers’ adalah “debut yang mengerikan”. (LB)
‘The Exhibitionist’ karya Charlotte Mendelson
Keluarga Hanrahan berkumpul pada akhir pekan saat sang patriark Ray – seniman dan sosok egois – bersiap menggelar pameran baru karya seninya.
Tiga anak Ray yang sudah dewasa dan istri yang setia, Lucia, semuanya memiliki pilihannya masing-masing.
Novel kelima karya Charlotte Mendelson ini telah masuk nominasi Women Prize, dan sangat dipuji.
Sumber gambar, Dan Kitwood/Getty
Charlotte Mendelson, 2008.
The Guardian menunjuk pada “kekhususan detail yang ringkas,” dan “amatannya yang presisi membuat saya sering tertawa dan tersenyum ketika saya tidak tertawa”.
Menurut Spectator, Mendelson unggul dalam “kisah-kisah yang hidup dan lucu tentang keluarga berantakan”.
‘The Exhibitionist’ adalah “sebuah perjalanan mulia. Mendelson mengamati hal-hal kecil dari perilaku manusia seperti seorang antropolog.” (LB)
‘Free Love’ karya Tessa Hadley
Pada 2015, The Guardian menyebutnya sebagai “salah satu novelis kontemporer terhebat di negara ini”.
Penulis dan akademisi Inggris, Tessa Hadley diam-diam telah memproduksi prosa yang sangat kuat selama dua dekade.
Seperti novel terbarunya, ‘The Past’ (2015) dan ‘Late in the Day’ (2019), ‘Free Love’ – novel kedelapan Hadley – mengeksplorasi hubungan intim, seksualitas, ingatan, dan kesedihan, melalui satu keluarga di pinggiran kota yang tampak biasa-biasa saja.
Sumber gambar, Colin McPherson/Getty
Tessa Hadley, 2012.
Tapi, tulis Hadley, “di bawah permukaan pinggiran kota yang tenang, ada sesuatu yang tak terkendali.”
Dilatari situasi terjadinya benturan budaya pada akhir 1960-an, novel ini menginterogasi visi idealis budaya tandingan tentang kebebasan seksual. (RL)
‘Black Cake’ karya Charmaine Wilkerson
Sebuah novel debut, ‘Black Cake’ menceritakan latar belakang keluarga Afrika-Amerika asal Karibia, dan dua saudara kandung yang bersatu kembali.
Hal itu terjadi setelah delapan tahun mereka merasa terasing saat pemakaman ibu mereka di mana mereka menemukan warisan yang tidak biasa.
Alur ceritanya digerakkan oleh seorang narator maha tahu, dialog, dan kilas balik.
Sumber gambar, David Levenson/Getty
Charmaine Wilkerson, Oktober 2021.
Novel ini, demikian New York Times, dipadati “rahasia keluarga, kebohongan besar, cinta yang luar biasa, warna-warna cerah dan aroma yang kuat”.
Tema ras, identitas, dan cinta keluarga, semuanya digabungkan, ujar The Independent, “tetapi kesenangannya ada dalam membaca ‘Black Cake’ adalah santapan sastra yang memuaskan, menandakan kehadiran novelis baru yang layak diperhatikan.” (LB)
‘Auē’ karya Becky Manawatu
Dikisahkan melalui beberapa sudut pandang, Auē menceritakan kisah saudara kandung Māori yang kehilangan orang tua mereka.
Masing-masing saudara menceritakan kisahnya, dan kemudian ibu mereka, Aroha, juga mengungkapkan kisahnya dari alam baka.
Sumber gambar, scribepublications.com
Novel ‘Auē’ karya Becky Manawatu.
Novel ini memenangkan dua penghargaan di Selandia Baru, dan saat ini mendapatkan pujian yang lebih luas.
“Plotnya apik sekali,” ujar The Guardian. “Auē melakukannya dengan baik karena dibuat dengan keahlian, tetapi juga lantaran memiliki sesuatu yang tak dapat dijelaskan: memikat, membingungkan, mencekam dan akrab, tentang dunia lain.” (LB)