
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Petugas Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan inspeksi mendadak (sidak) di sejumlah apotek di Jalan Setia Budi, Medan, Sumatera Utara, Jumat (21/10).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali mengizinkan tenaga kesehatan meresepkan 156 obat sirup, yang sebelumnya dilarang karena diduga mengandung zat berbahaya pemicu gangguan ginjal akut pada anak-anak.
Ratusan obat itu dipastikan tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol, sehingga dinyatakan aman “aman”, sepanjang digunakan sesuai aturan pakai.
“Jenis obat yang boleh digunakan sesuai dengan rekomendasi Badan POM” kata Juru bicara Kemenkes, Syahril Mansyur.
Tenaga Kesehatan di setiap fasilitas kesehatan dapat meresepkan atau memberikan obat sirup berdasarkan pengumuman dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Sementara untuk obat yang sulit digantikan dengan sediaan lain, tenaga kesehatan juga diizinkan meresepkan atau memberikan obat sesuai yang tercantum dalam lampiran 2 daftar yang dikeluarkan BPOM, sampai didapatkan hasil pengujian.
“12 merk obat yang mengandung zat aktif asam valporat, sidenafil, dan kloralhidrat dapat digunakan, tentunya pemanfaatannya harus melalui monitoring terapi oleh tenaga kesehatan” ujar Syahril.
Dengan keputusan baru ini, apotek dan toko obat juga dapat menjual bebas dan/atau bebas terbatas kepada masyarakat sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 dan lampiran 2 daftar BPOM, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemenkes memerintahkan Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan penggunaan obat sirup sesuai dengan kewenangan masing-masing.
“Kementerian kesehatan RI akan mengeluarkan surat pemberitahuan kembali setelah diperoleh hasil pengujian Badan POM RI atas jenis obat obatan sirup lainnya” kata dr. Syahril menambahkan.
Pada Minggu (23/10), BPOM mengumumkan 30 obat dari 102 produk obat cair atau sirup, yang dikonsumsi oleh pasien-pasien gangguan ginjal akut, diklaim “aman digunakan”, tapi ada tiga yang disebut “mengandung cemaran”.
Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan, merujuk hasil sampling dan pengujian yang telah dilakukan BPOM, 23 obat “terbukti tidak menggunakan keempat produk Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan atau Gliserin/Gliserol”, sehingga aman digunakan.
Selain itu, tambah Penny, ada tujuh produk lain yang sudah dilakukan pengujian dan hasilnya “dinyatakan aman digunakan sepanjang aturan pakai”.
“Kemudian ada tiga produk yang telah dinyatakan pengujian dan dinyatakan mengandung cemaran, EG (etilen glikol) dan DEG (dietilen glikol), melebihi ambang batas aman,” jelas Penny dalam konferensi pers yang digelar Minggu (23/10).
Ketiga produk ini termasuk dalam daftar lima obat yang telah ditarik dari peredaran oleh BPOM karena diduga mengandung EG dan DEG.
Dengan demikian, lanjut Penny masih ada 69 produk yang masih dalam proses sampling dan pengujian.
“Secepatnya kami akan mengeluarkan secara bertahap karena ini menyatakan sudah bertambah yang aman dan kemudian tentunya menjadi pilihan untuk segera dikonsumsi,” terang Penny.
Adapun 23 obat yang dinyatakan “aman digunakan” adalah: Alerfed Syrup, Amoxan, Amoxcilin, Azithromycin Syrup, Cazetin, Cefacef Syrup, Cefspan Syrup, Cetrizin, Devosix drop 15 ml, Domperidon Syrup, Etamox Syrup, Interzinc, Nytex, Omemox, Rhinos Neo Drop, Vestein, Yusimox, Zinc Syrup, Zincpro Syrup, Zibramax, Renalyte, Amosisilin dan Eritromisin.
Sementara tiga obat yang dinyatakan “aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai” adalah Ambroxol HCl, Anakonidin OBH, Cetirizin, empat merek Paracetamol dari beragam produsen.
Sedangkan tiga obat yang dinyatakan “mengandung cemaran EG/EDG melebihi ambang batas aman adalah Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup dan Unibebi Demam Drops yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries.
Obat penawar dari Singapura dan Australia
Dalam perkembangan lain, Kementerian Kesehatan telah mendatangkan antidotum, atau obat penawar, untuk gangguan ginjal akut progresif atipikal ke Indonesia pada Minggu (23/10).
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah kasus gangguan ginjal akut telah menapai 241 kasus di 22 provinsi per Jumat (21/10). Sebanyak 133 anak dilaporkan meninggal dunia, atau 55% dari total kasus.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan 26 vial obat Fomepizole didatangkan dari luar negeri, terdiri dari 10 vial dari Sinagpura dan 16 vial dari Australia.
Sumber gambar, Antara Foto
Seorang ibu sedang menunggui anaknya yang mengidap gangguan ginjal akut di Sumatera Barat.
“Obat ini masih langka ya. Kita bisa dibantu, saya telepon menteri Kesehatan Singapura sama Australia langsung dikasih,” ujar Budi Gunadi Sadikit seperti dikutip dari kantor berita Antara, Minggu (23/10).
Kementerian Kesehatan sebelumnya mengumumkan telah memesan 200 vial Fomepizole, yang diperuntukkan bagi satu pasien per vial, dengan dosis injeksi 1,5 gram atau 1,5 ml.
Obat itu sebelumnya telah diuji coba pada 10 pasien anak dengan gangguan ginjal akut yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Reaksi terhadap Fomepizole diklaim memicu perbaikan gejala pasien.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Dirut RSCM Lies Dina Liastuti menyampaikan sejak Januari hingga pertengahan Oktober 2022, pihak RSCM total mendapat rujukan 49 anak yang mengalami gagal ginjal akut dan 31 di antaranya meninggal dunia
245 kasus, 141 kematian
Kementerian Kesehatan mencatat jumlah pasien dengan gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia mencapai 245 orang, per Minggu (23/10).
“Sampai hari ini (23/10) sudah dilaporkan ada 245 kasus, di mana yang melaporkan 26 provinsi,” ucap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, sebagaimana dikutip Kompas TV.
Dari 245 kasus tersebut, jumlah kematian mencapai 141 orang sehingga “ada sedikit peningkatan fatalitas rate 58 persen”.
Data Kemenkes RI pada Jumat (21/10), tercatat jumlah pasien gangguan ginjal akut ada sebanyak 241 orang, dengan kasus kematian sebanyak 131 orang.
Tingkat kematian yang tinggi akibat gangguan ginjal akut juga dicatat di beberapa daerah, termasuk di Provinsi Aceh.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh mengemukakan bahwa sebanyak 29 anak di provinsi itu mengidap gagal ginjal akut. Adapun 22 di antara mereka telah meninggal dunia.
“Saat ini ada 29 anak gagal ginjal akut. Pasien paling banyak dari Banda Aceh dan Aceh Tengah,” kata Ketua IDAI Cabang Aceh dr Syafruddin Haris, SpA (K) di Banda Aceh, Senin (24/10) kepada kantor berita Antara.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) didampingi Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lucia Rizka Andalusia (kiri) memberikan keterangan pers di Kantor Kementrian Kesehatan, Jakarta, Jumat (21/10)
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengambahkan, Kemenkes melakukan pengujian mulai awal September dengan pemeriksaan virus, bakteri dan parasit pada bayi yang mengalami gangguan ginjal. Akan tetapi tidak terbukti sepenuhnya.
“Yang mulai kita agak terbuka adalah karena ada kasus di Gambia, yang tanggal 5 Oktober WHO mengeluarkan rilis, ini disebabkan senyawa kimia,” tambah Menteri Budi.
Sebagian besar obat-obatan diuji mengandung senyawa berbahaya etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether. Senyawa kimia yang biasa digunakan untuk pelarut cat dan pendingin radiator kendaraan.
Zat-zat berbahaya ini disebut sebagai “cemaran” dari pelarut yang digunakan untuk obat.
“Kalau membuatnya [obat] tidak baik. menghasilkan cemaran,” tambah Menteri Budi.
Ia menambahkan, senyawa kimia ini mampu membuat ginjal tidak berfungsi. Pasalnya, ketiga senyawa tersebut memicu asam oksalat dalam tubuh dan selanjutnya menjadi kristal di dalam ginjal.
“Kalau masuk ke ginjal jadi kristal kecil tajam-tajam sehingga rusak ginjalnya. Nah, 7 dari 11 balita [di RSCM] ternyata ada senyawa kimia. Ternyata ginjal-ginjalnya rusak karena adanya asam oksalat. Jadi itu logikanya,” katanya.
Daftar 102 obat yang dilarang
Kemenkes juga merilis daftar 102 obat yang diduga mengandung senyawa penyebab kasus gangguan ginjal pada anak.
Daftar obat ini dirilis setelah pihak Kemenkes memeriksa 156 anak yang mengonsumsinya dan berakhir dengan gangguan ginjal.
“Dari 156 itu, kita sudah ketemu 102 obat yang ada orang yang kena ini [gangguan ginjal akut] jenisnya sirup.
“Itu yang kami melaporkan, dan bapak presiden bilang, ‘pak menkes dibuka saja biar tenang masyarakat, dan kita melakukan transparansi ke publik’,” kata Menteri Budi.
Tapi daftar itu tidak memuat nama-nama pabriknya. Daftar ini bersifat sementara, dan akan berkurang ketika produsen obatnya bisa membuktikan produknya tidak mengandung senyawa berbahaya bagi ginjal.
“Obat-obat ini akan kita larang diresepkan dan dijual,” tambah Menteri Budi.
Selain itu, pemerintah juga akan melonggarkan obat-obatan sirup lainnya yang terbukti tidak menggunakan pelarut seperti polietilen glikol.
Hal ini kata menkes sudah disetujui oleh Gabungan Perusahaan Farmasi, Ikatan Apotik Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. “Yang akan kita buka, adalah yang tidak ada pelarutnya,” katanya.
Sumber gambar, Kemenkes
Sumber gambar, Kemenkes
Sumber gambar, Kemenkes
Sumber gambar, Kemenkes
Pelajaran untuk BPOM
Sumber gambar, ANTARAFOTO
Komunitas Badut Necis melakukan sosialisasi kepada siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darussalam, Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/10/2022).
Pejabat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Elin Herlina mengatakan “kejadian ini merupakan pembelajaran bagi kami”.
Dengan kejadian meningkatnya kasus gagal ginjal pada anak BPOM berjanji untuk mengintensifkan pengawasan, dan khususnya pada bahan cemaran yang berpotensi menyebabkan gagal ginjal yaitu EG dan DEG dalam produk obat.
“Untuk pengawasan, kita mulai dari pre-market dan post-market, pengambilan sampel pengujian dan lain-lain,” katanya.
Namun, untuk pengujian obat-obatan lanjutan, BPOM mengambil sikap pasif: menunggu hasil uji yang dilakukan perusahaan obat secara mandiri.
“Ini adalah sesuai dengan ketentuannya yang bertanggung jawab terhadap keamanan, mutu dan khasiat obat itu adalah industri farmasi,” tambah Elin.
Selain itu, Elin Herlina juga membantah kabar tentang bahan baku pelarut yang berasal dari perusahaan India, Maiden Pharmaceuticals yang dikaitkan dengan produknya yang menyebabkan 70 anak meninggal di Gambia karena gagal ginjal.
“Dari data kami meskipun ada dari negara lain, ini untuk yang Maiden ini, tidak ada tercatat di dalam data kami,” katanya.
Sumber gambar, ANTARAFOTO
Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan keterangan pers di Kantor Kementrian Kesehatan, Jakarta, Jumat (21/10/2022).
Seebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan penarikan dan pemusnahan lima sirup obat yang memiliki kandungan Etilen Glikol (EG) melebihi ambang batas aman.
Perintah tersebut dikeluarkan hari Kamis (20/10/2022), di tengah munculnya lebih 200 kasus ganguan ginjal akut di Indonesia yang sejauh ini menyebabkan setidaknya 99 anak meninggal dunia.
“BPOM telah melakukan tindak lanjut dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh bets produk,” demikian pernyataan BPOM.
“Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.”
Dari hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, diketahui adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk berikut:
- Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
- Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
- Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
- Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
- Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Namun demikian, kata BPOM, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut, karena selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca COVID-19.
Sumber gambar, ANTARAFOTO
Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/10/2022).
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan penelitian Kemenkes mendeteksi tiga zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE) pada tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut.
Bahan-bahan tersebut diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut yang ditemukan di Gambia, Afrika Tengah.
Karena itu, Kemenkes telah menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat dalam bentuk cair atau sirup demi “menyelamatkan anak”.
Akan tetapi, pakar epidemiologi memandang situasi gangguan ginjal akut di Indonesia “sudah genting” dan “sangat serius”, sehingga perlu ditetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gagal ginjal akut.
“Saya melihat ini sudah genting, sangat serius. Ketika kasus seperti ini terjadi, jelas itu adalah puncak gunung es. Kita tahu bagaimana surveilans kita, artinya korbannya jauh lebih banyak,” ujar pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, Rabu (19/10/2022).
Sumber gambar, Getty Images
Ilustrasi: Ibu dan anaknya yang tengah dirawat di rumah sakit.
Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, menegaskan perlu dilakukan upaya maksimal untuk menyelidiki kejadian ini, “agar segera terjawab apa sebenarnya penyebabnya dan bagaimana penanggulangannya”.
Pada Kamis (18/10), Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan penelitian Kemenkes mendeteksi tiga zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE) pada tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut.
“Ketiga zat kimia ini merupakan impurities [unsur pengotor] dari zat kimia ‘tidak berbahaya‘, polyethylene glycol, yang sering dipakai sebagai solubility enhancer [peningkat kelarutan] di banyak obat-obatan jenis sirup,“ papar Nadia.
Menurutnya, petugas Kemenkes telah mengambil obat jenis sirup dari rumah pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Hasilnya, beberapa jenis obat sirup yang digunakan oleh pasien terbukti memiliki zat kimia EG, DEG, EGBE yang seharusnya tidak ada atau sangat sedikit kadarnya di obat-obatan sirup tersebut.
Itu sebabnya, kata Nadia, Kemenkes mengambil posisi konservatif melarang penggunaan obat-obatan sirup untuk sementara sambil menunggu BPOM memfinalisasi hasil penelitian kuantitatif mereka.
Sumber gambar, Getty Images
Per 18 Oktober 2022, dilaporkan sebanyak 206 kasus gangguan ginjal akut pada anak terjadi di 20 provinsi di Indonesia.
Sebanyak 65% pasien gangguan ginjal akut yang dirawat di rumah sakit rujukan RSCM di Jakarta, meninggal dunia.
Adapun BPOM telah melarang seluruh produk obat sirup anak maupun dewasa yang mengandung dietilen glikol dan etilen glikol.
Dua bahan tersebut diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut yang ditemukan di Gambia, Afrika Tengah.
Dalam perkembangan terbaru, jumlah kematian anak akibat obat batuk sirup buatan India di Gambia meningkat menjadi 70 anak. BPOM memastikan empat obat batuk sirup penyebab gagal ginjal di Gambia itu, tak terdaftar di Indonesia.
Obat sirup disetop sementara
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengungkapkan, dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi pasien anak, ditemukan “jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progressive atypical.”
Untuk meningkatkan kewaspadaan untuk pencegahan, kata Syahril, pihaknya sudah meminta seluruh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan untuk sementara ini tidak meresepkan obat atau memberikan obat dalam bentuk cair atau sirup sampai hasil tuntas.
“Ini diambil langkah dengan maksud dugaan-dugaan ini sedang kita teliti. Untuk menyelamatkan anak-anak kita maka diambil kebijakan untuk melakukan pembatasan ini,” jelasnya dalam konferensi pers yang digelar Rabu (19/10).
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Apoteker menunjukan obat sirup di sebuah apotek di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (19/10).
Pembatasan ini tak hanya berlaku bagi obat cair atau sirup untuk anak saja, namun juga bagi dewasa.
Syahril menambahkan, Kementerian Kesehatan telah meminta apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dalam bentuk cair atau sirup pada masyarakat, “sampai hasil penelusuran dan penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan BPOM tuntas”.
Tetapi, kebijakan penyetopan sementara obat cair atau sirup ini memicu kekhawatiran orang tua yang telah memberikan obat jenis itu kepada anak-anak mereka, seperti yang dialami ibu muda di Yogyakarta yang baru saja memberikan obat sirup Paracetamol kepada anak balitanya yang berusia empat tahun.
“Saya pribadi baru saja memberikan Paracetamol ke anak saya beberapa hari yang lalu dan udah terlanjur ngasihnya, kenapa baru sekarang? Padahal kasusnya kan sudah lama ya, sejak Juli sudah ada. Jadi ya khawatir sih akhirnya ke anak saya,” ujarnya.
Di Yogyakarta, tercatat ada 13 anak dengan gangguan ginjal akut, enam di antaranya meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pembajun Setyaningastutie, menjelaskan gejala umum yang dialami anak-anak tersebut.
“Kalau dilihat rentang tiga sampai lima hari itu salah satu tanda yang krusial urinenya tidak keluar seperti biasa atau tidak keluar urinenya,” jelasnya.
Berbeda dengan gangguan ginjal pada orang dewasa yang disebabkan karena hipertensi dan diabetes melitus, hingga kini memang belum diketahui dengan pasti penyebab gangguan ginjal pada anak.
“Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini karena penyebabnya ABC, ini perlu kehati-hatian. Jadi masih kita sebut unknown etiology, jadi memang tidak diketahui penyebabnya sampai nanti dari Kementerian Kesehatan akan memberikan informasi.”
Sumber gambar, Getty Images
Kebijakan penyetopan sementara obat cair atau sirup ini menuai kekhawatiran orang tua yang telah memberikan obat jenis itu kepada anak-anak mereka.
Langkah pembatasan obat cair atau sirup yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, disambut positif oleh pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman.
Namun dia menegaskan, perlunya mitigasi risiko agar masyarakat tidak khawatir dan bertanya-tanya tentang keamanan obat yang dikonsumsi anak mereka.
“Ini tentu harus ada opsi solusinya.”
Adapun, dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, disebut bahwa obat-obatan selain sirup dapat digunakan, sebab komponen untuk membuat obat sirup lah yang diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut, seperti halnya yang terjadi di Gambia.
Dokter bisa menggunakan obat penurun panas yang berbentuk tablet atau yang bisa dimasukkan secara anal, atau suppositoria, dan melalui injeksi.
KLB gagal ginjal akut
Dicky Budiman menyoroti lemahnya kemampuan pendeteksian di Indonesia, yang dia anggap berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat gangguan ginjal akut.
Dia pun menegaskan sudah semestinya pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB).
“Ini sudah KLB atau kejadian luar biasa gagal ginjal akut yang terjadi di beberapa kota di Indonesia dengan case fatality rate yang tinggi dan ini tentu sangat logis dalam konteks Indonesia, karena di tengah lemahnya deteksi dini,” lanjut Dicky.
Situasi yang terjadi saat ini di Indonesia, bagi Dicky, sudah memenuhi kriteria KLB yang nantinya akan berdampak pada langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi gangguan ginjal akut di Indonesia.
“Jadi aspek dukungan pembiayaan, dan juga kemudahan lainnya karena statusnya yang KLB itu. Selain tentu awareness dari setiap sektor akan semakin lebih meningkat.”
Sumber gambar, Getty Images
Epidemiolog Dicky Budiman menyoroti lemahnya kemampuan pendeteksian di Indonesia, yang berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat gangguan ginjal akut.
Saat ini, lanjut Dicky, kesadaran masyarakat yang masih rendah juga berkontribusi pada tingginya jumlah kasus dan angka kematian.
Menurut Dicky, health seeking behaviour atau perilaku yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan masyarakat Indonesia termasuk lemah di antara negara-negara ASEAN.
Sekitar 70% penduduk Indonesia, lebih memilih untuk mengobati sendiri jika sakit.
“Ini juga berperan. Jadi dari sisi layanan kesehatan yang memang masih minim dan terbatas, kemudian dari sisi masyarakat.”
“Dua ini yang saling berkontribusi kalau ada kasus seperti ini akhirnya banyak keterlambatan, terlambat terdeteksi, terlambat terdiagnosa, terlambat dirujuk dan terlambat ditangani,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, gangguan ginjal akut ini juga menimpa daerah-daerah yang terbatas layanan kesehatannya.
Sumber gambar, Getty Images
Kasus gangguan gagal ginjal akut tinggi di daerah sebab layanan cuci darah atau hemodialisa untuk anak yang terbatas di layanan kesehatan.
Kasus gangguan gagal ginjal akut tinggi di daerah sebab layanan cuci darah untuk anak atau hemodialisa yang terbatas di layanan kesehatan.
“Hemodialisa anak itu jangankan tingkat kabupaten, tingkat provinsi aja belum tentu semua punya,” tegas Dicky.
“Ini sekali lagi membuka borok atau membuka kelemahan layanan sistem kesehatan kita yang masih sangat terbatas ini,” lanjutnya.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengungkapkan sebagai langkah awal menurunkan fatalitas gangguan ginjal akut, Kemenkes melalui RSCM telah memberi antidotum, atau penawar, yang didatangkan langsung dari luar negeri, kepada pasien yang dirawat.
“Bukan hanya di RSCM, tapi juga yang dirawat di seluruh rumah sakit di Indonesia.”
Syahril menjelaskan tingkat kematian akibat gagal ginjal tinggi karena banyak anak-anak mengalami gagal ginjal.
Dia mengungkapkan, ginjal adalah organ yang sangat penting dalam metabolisme. Jika terjadi gangguan pada ginjal, maka itu akan mengganggu metabolisme yang pada nantinya akan menyebabkan organ lain ikut terganggu.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Apoteker meracik obat di sebuah apotek di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (19/10).
Adapun gagal ginjal adalah ketika ginjal tak lagi bisa melakukan aktivitasnya sebagai alat metabolisme tubuh.
Itu ditandai dengan preferensi kencing, jumlah urine juga sangat sedikit. Bahkan kalau betul-betul terjadi kerusakan ginjal yang lebih berat, maka tidak terjadi produksi air kencing atau urine.
“Kenapa tingkat kematiannya tinggi? Itu dikarenakan dia sudah masuk ke fase itu.”
“Makanya pada saat ini kita sampaikan kepada masyarakat, kepada tenaga kesehatan, untuk lebih waspada dan lebih cepat untuk melakukan tindakan,” ujar Syahril.
Dia melanjutkan, jika orang tua mendapati anaknya memiliki gejala seperti frekuensi dan jumlah kencing yang menurun, dan disertai dengan demam, diare, mual, batuk, maupun pilek, untuk segera memeriksakannya ke dokter.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pegawai mengumpulkan sejumlah obat sirup yang mengandung paracetamol pada salah satu minimarket di Tangerang Selatan, Banten, Rabu (19/10).
Adapun, mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama – yang juga mantan dirjen pengendalian penyakit di Kementerian Kesehatan – mengatakan kasus gangguan ginjal akut yang masih misterius “harus segera ditangani”.
“Penghentian obat sirup boleh-boleh saja tapi yang paling penting adalah penyebabnya apa. Apalagi, kasus gangguan ginjal akut pada anak ini telah terjadi selama beberapa pekan terakhir,” ujar Tjandra.
“Menurut saya harus jelas penyebebabnya apa. Kalau penyebabnya sudah jelas, maka upaya jadi jelas,” tegasnya kemudian.
Kalau memang diperlukan, tambah Trjandra, maka keadaan ini dapat saja dipertimbangan masuk dalam DONs (Disease Outbreak News) WHO untuk kewaspadaan negara-negara lain di dunia.
Laporan tambahan oleh Yaya Ulya, wartawan di Yogyakarta.