
sumber gambar, Dicky Whisper/Getty
Safa Marwah dibawa ibunya, Wanda Maulida, ke tempat pengungsian di Kecamatan Cugenang, Cianjur. Ayah Safah meninggal dunia akibat gempa pada 21 November 2022.
Memasuki minggu kedua gempa Cianjur, pemerintah Indonesia mengaku membutuhkan setidaknya 500 ahli untuk memberikan dukungan kesehatan mental psikososial, atau “penyembuhan trauma”, kepada warga yang terkena dampak.
Mulai Senin (28/11/2022), beberapa kementerian terkait akan menerjunkan tim yang terdiri dari psikiater, psikolog, dan perawat psikiatri ke berbagai lokasi pengungsian untuk membantu para penyintas, terutama anak-anak dan perempuan.
Organisasi Save the Children mengatakan “sejumlah besar” anak-anak yang terkena dampak gempa rentan terhadap “stres akut”, meskipun masing-masing anak bereaksi berbeda.
Saat ini, sebagian besar pengungsi mengaku mengalami trauma, termasuk mereka yang tinggal di tenda yang tidak memadai dan rumah keluarga di luar lokasi bencana.
Pemerintah mengimbau para penyintas untuk kembali ke rumahnya yang strukturnya tidak rusak karena distribusi tenda untuk pengungsi belum optimal.
Lebih dari 133.000 pengungsi tersebar di sekitar 450 titik, dan lebih dari 100 merupakan hunian darurat mandiri alias inisiatif warga sendiri.
sumber gambar, Garry Lotulung/Getty
Di salah satu tempat terdampak gempa di Cianjur, satu keluarga terbaring di ranjang yang disulap menjadi tempat berteduh.
“Saya menangis terus, memikirkan anak saya” – kisah Imas yang kehilangan anaknya
“Kemarin saya menangis Bukan [jenazah] Saya ketemu anak saya Jumat (25/11), saya ingat terus, saya nangis terus,” Imas tak kuasa menahan getar suaranya.
“Anak kecil saya juga sering nangis, mungkin seperti ibunya, masih ingat [kematian kakaknya].”
Wanita berusia 34 tahun ini kemudian membawa kedua anaknya ke rumah kerabatnya di Desa Cigrass, yang menurutnya “lebih aman”.
Sebelum meninggalkan desa, Imas dan keluarga besarnya tinggal di tenda yang “bocor saat hujan” dan “banyak nyamuk di malam hari”.
sumber gambar, Dicky Nawazaki
Imas menggendong boneka kesayangan Ashika Nur Fauziah sambil menunggu putrinya dievakuasi dari reruntuhan bangunan.
Kini di ‘rumah’ barunya, Imas mengaku ‘cukup terhibur’ dengan ‘banyak kerabat’.
“Membantu [logistik] juga dari saudara-saudara, dan banyak yang menguatkan saya. Jadi alhamdulillah saya bisa kuat, Insya Allah saya bisa lupa,” ujarnya pelan.
Itu hanya harapan Imas yang belum pernah mendapat bantuan ahli terkait traumanya. Dan Imas tidak sendirian.
Diperkirakan tidak sedikit dari sekitar 133.000 pengungsi gempa Cianjur yang tidak mendapatkan apa yang disebut trauma healing.
“Dibutuhkan 500 ahli untuk menyembuhkan trauma”
sumber gambar, Garry Lotulung/Getty
Sebuah keluarga berlindung di tenda yang tidak layak huni di dekat kebun teh setelah gempa Cianjur.
Perwakilan Crisis Center Kementerian Kesehatan, Rahmat, mengaku baru kemarin Kementerian terkait memberangkatkan tim yang terdiri dari psikiater, psikolog, dan perawat psikiatri ke lokasi evakuasi yang berbeda.
Dalam jumpa pers bersama pejabat terkait di Cianjur, Minggu (27/11), Rahmat menyatakan bahwa “kami belum memikirkan upaya psikososial untuk mendukung kesehatan jiwa korban bencana”.
“Ini namanya pendampingan ‘Trauma Healing’ di masyarakat. Jadi kami belum memikirkan itu sebelumnya,” katanya.
Untuk itu, menurut dia, beberapa kementerian terkait akan mengirimkan tim pada Senin (28/11).
sumber gambar, Mas Agung Wilis/Getty
Dua anak berjalan melewati kamp pengungsian di desa Gintung, Cianjur, 25 November 2022.
“Kami akan menurunkan tim ini di lokasi evakuasi mulai Senin.”
Dikatakan, saat ini dibutuhkan sedikitnya 500 ahli untuk memberikan dukungan kesehatan jiwa psikososial – atau “trauma healing” – kepada warga Cianjur yang terkena dampak.
“105 untuk psikiater, 210 untuk psikolog dan 210 untuk psikiater,” ujarnya.
“Harapannya masyarakat bisa mendapatkan layanan dukungan psikososial kesehatan jiwa.”
“Anak-anak dan perempuan rentan terhadap trauma”
Belum diketahui berapa anak yang mengungsi akibat gempa Cianjur.
Namun, menurut organisasi internasional Save The Children, anak-anak adalah yang paling rentan terhadap trauma, bersama dengan perempuan dan orang tua.
sumber gambar, menyelamatkan anak-anak
Menurut organisasi internasional Save The Children, anak-anak adalah yang paling rentan terhadap trauma, selain perempuan dan orang tua.
“Reaksi yang terjadi di masyarakat, terutama di kalangan anak-anak, sangat luar biasa. Kami biasanya berpikir seperti ini gangguan stres akutgangguan stres akut.
“Biasanya terjadi pada anak-anak, semua orang, terutama yang mengalami bencana, termasuk gempa bumi,” kata Bram Marantika, manajer psikososial Save The Children, kepada BBC News Indonesia, Senin (28/11).
Save The Children menurunkan timnya untuk memberikan dukungan psikososial kepada anak-anak di empat kecamatan terparah di Cianjur.
“Apalagi di bulan pertama sangat penting bagaimana kita mencegah mereka memasuki fase trauma yang sangat berbahaya,” jelasnya.
sumber gambar, menyelamatkan anak-anak
Save The Children menurunkan timnya untuk memberikan dukungan psikososial kepada anak-anak di empat kecamatan terparah di Cianjur.
Bram Marantika kemudian mencontohkan salah satu langkah yang dilakukan pihaknya.
“Misalnya, kami mengadakan kegiatan rekreasi agar anak-anak punya waktu untuk bermain dan bersantai,”
“Kemudian kita akan memberikan beberapa teknik pernapasan teknis dengan cara yang sederhana dan dengan sesuatu yang disukai anak-anak,” jelasnya.
“Alhamdulillah akhirnya dia mau bicara”
Berbagai organisasi swasta dan instansi pemerintah, termasuk Palang Merah Indonesia, PMI, juga telah mengirimkan relawan untuk melakukan hal yang sama.
Cici Airin, 21 tahun, relawan PMI Cianjur, mendampingi anak-anak korban gempa di beberapa desa di Cianjur selama enam hari terakhir.
“Bersama anak-anak kami mengajak mereka bermain, menaikkan Bernyanyi, seperti mencuci tangan untuk mencegah diare,” katanya.
sumber gambar, Garry Lotulung untuk IFRC
“Bersama anak-anak kita ajak mereka bermain, ajari mereka bernyanyi, cuci tangan misalnya untuk mencegah diare misalnya,” ujar Cici, salah satu relawan PMI Cianjur.
Mahasiswa ini mengaku mengikuti program psikososial PMI sebelum penugasannya ke lokasi bencana.
Cici kemudian menceritakan pengalamannya merawat seorang anak yang merasa trauma akibat gempa.
Awalnya anak itu tenang dan sedikit takut bertemu orang baru. Tapi kemudian ‘berubah’ setelah ‘penyembuhan trauma’ selanjutnya.
“Lalu, ditemani si anak, dia akhirnya mau bilang, ‘Siapa namanya?’ ‘Sakila’. Alhamdulillah akhirnya dia mau bicara,” kata Cici.
sumber gambar, Palang Merah Indonesia
Berbagai organisasi swasta dan instansi pemerintah, termasuk Palang Merah Indonesia, PMI, juga telah mengirimkan relawan untuk melakukan hal yang sama.
Pada awal minggu kedua tanggap darurat, pemerintah mengimbau para penyintas untuk kembali ke rumah masing-masing, yang belum rusak akibat bangunan tersebut.
Hal itu terungkap di tengah belum optimalnya pembagian tenda bagi pengungsi.
Lebih dari 133.000 pengungsi tersebar di sekitar 450 titik, dan lebih dari 100 merupakan kamp pengungsian mandiri alias inisiatif warga sendiri.
Hingga Senin sore (28/11), 323 orang tewas akibat gempa, sembilan orang masih hilang.
sumber gambar, Garry Lotulung/Getty
Di kegelapan malam, di sebuah tenda pengungsian di Cianjur, seorang anak sedang bermain.
108 luka berat dirawat di berbagai rumah sakit di Cianjur dan sekitarnya.
Sementara itu, 63.229 rumah rusak berat, 26.237 rusak berat, 14.196 rusak sedang, dan 22.796 rusak ringan.
421 gedung sekolah rusak, 170 tempat ibadah, 14 fasilitas kesehatan dan 17 gedung perkantoran.
Ada 16 kecamatan dan 151 desa yang terdampak gempa.
sumber gambar, Mas Agung Wilis/Getty
Seorang relawan memotong rambut seorang anak di lokasi pengungsian di Desa Sukamulya, Cianjur, pada 26 November 2022.