
sumber gambar, Selamat Aditya
Devi Athok (memakai kaos dan peci hitam) meyakini kedua putrinya meninggal karena gas air mata, bukan karena kehabisan oksigen dan ditendang.
Otopsi terhadap dua jenazah korban tragedi Kanjuruhan oleh tim independen berlangsung pada Sabtu (11/5) setelah dibatalkan. Keluarga korban mengaku diintimidasi oleh polisi.
Dua jenazah yang diotopsi adalah putri Devi Athok Yulfitri, 48 tahun, warga Kecamatan Bululawang, Malang.
Natasya Debi Ramadani, 16, dan Naila Debi Anggraini, 13, termasuk di antara 135 orang yang tewas dalam tragedi sepakbola terbesar kedua dalam sejarah.
Autopsi dilakukan di Pemakaman Umum (TPU) Dusun Pathuk, Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Tim koroner dipimpin oleh Ketua Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jawa Timur, Nabil Bahasuan.
Devi Athok sebelumnya telah membatalkan otopsi kedua anaknya. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menuduh polisi mengintimidasi Devi agar menghentikan otopsi.
sumber gambar, Selamat Aditya
Polisi tetap mempertahankan prosedur otopsi terhadap korban Kanjuruhan yang dilakukan oleh tim independen.
Wartawan di Malang yang melaporkan BBC News Indonesia mengatakan ratusan petugas kepolisian dari Polres Malang sedang memantau secara ketat proses otopsi untuk penggalian tersebut. Garis polisi dipasang melingkar di sekitar lokasi TPU. Hanya orang yang berwenang yang diperbolehkan memasuki tenda tempat penggalian dilakukan.
Beberapa anggota kelompok pendukung Aremania juga datang untuk mengawal proses otopsi dan memberikan dukungan moral kepada keluarga Devi Athok.
“Kami PDFI Jatim sudah menerima permintaan penyidik berupa surat dilihat dan ditemukan melakukan penggalian jenazah korban tragedi Kanjuruhan,” kata Nabil sebelum memulai otopsi.
“Tim independen ini terdiri dari tiga unsur lembaga pelatihan medis dan empat lembaga kesehatan. Kami mohon doanya agar tim kami dapat menunaikan tugas kami,” imbuhnya.
Ketiga institusi pendidikan tersebut adalah Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, dan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Instansi kesehatan yang terlibat adalah RS Kanjuruhan, dr. Sutomo, RSUD Dr. Sarifah Bangkalan dan Rumah Sakit Pendidikan Unair.
sumber gambar, Selamat Aditya
Seorang suporter Aremania berusaha menenangkan Devi Athok (berbaju hitam), orang tua korban tragedi Kanjuruhan.
Keluarga korban mengaku diintimidasi polisi
Devi Athok datang ke TPU untuk melihat proses otopsi. Hanya beberapa menit setelah memasuki tenda otopsi, Devi muncul. Dia tidak bisa menahan kesedihannya dan terus menangis.
Beberapa anggota Aremania mencoba menenangkan Devi dengan membawanya ke ambulans.
Devi kemudian menginformasikan kepada wartawan bahwa dia mengajukan sidang otopsi dengan memberi wewenang kepada Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan, Imam Hidayat pada Senin 10 Oktober 2022.
“Tanggal 10 jam 10 malam WIB saya menyerahkan otopsi. Pada tanggal 11 seseorang dari polisi menelepon. Anda ditanya mengapa dia masih meminta otopsi. Saya beri Pak Imam Hidayat surat kuasa, seharusnya dia tanya kenapa ke saya,” kata Devi.
Devi mengaku diintimidasi oleh polisi. Setelah permintaan otopsi dikirim ke Polda Jatim, keesokan harinya ia dipanggil polisi. Tak hanya itu, rumahnya sudah dua kali didatangi polisi.
“Saya merasa trauma dengan ibu saya bahwa dia sekarang sakit. Ibu saya melihat bahwa orang-orang masih takut. Mereka datang ke rumah dua kali, ”kata Devi.
sumber gambar, Selamat Aditya
Tempat otopsi dua korban tragedi Kanjuruhan ditutup dengan barisan polisi.
Devi berharap proses otopsi ini dapat membantu menentukan penyebab kematian kedua putrinya. Ia merasa kematian Natasya dan Naila adalah sesuatu yang aneh.
“Anak saya terkena gas air mata dan diracun. Hidungnya berdarah. Dan mulutnya berbusa,” kata Devi di tempat.
Jika hasil otopsi benar karena putrinya meninggal karena menghirup gas air mata, dia akan menyerahkannya ke Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan untuk tindakan hukum lebih lanjut.
Ia juga ingin menghilangkan kepercayaan bahwa putranya telah meninggal karena kekurangan oksigen dan diinjak-injak.
“Jika ditemukan racun, biarkan Pak Imam (Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan) bertindak sebagai advokat untuk bergerak. Dan untuk membantah anggapan bahwa dia kehabisan oksigen atau diinjak,” kata Devi.
Bazaar menyelidiki kejahatan pembunuhan
Dadang Hermawan, salah satu perwakilan pendukung Tim Gabungan Aremania (TGA), berharap hasil otopsi menjadi dasar bagi penyidik untuk menerapkan Pasal 338 dan 340 KUHP tentang pembunuhan dalam tragedi Kanjuruhan.
Selama ini penyidik hanya menggunakan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP dan/atau Pasal 103(1) jo Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
“Harapan kami bisa menambah pasal-pasal yang tidak termasuk dalam Pasal 359 dan 360 KUHP. Tapi yang kita harapkan bisa Pasal 338 dan 340 KUHP dan juga menambah tersangka,” kata Dadang.
Sementara itu, Irjen (Purn) Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto tampak datang langsung untuk mengawal proses otopsi. Benny mengatakan otopsi adalah bagian dari penyelidikan. Hasil otopsi dapat membantu penyidik menentukan penyebab kematian.
“Kami di Kompolnas sebagai pengawas internal sudah mengawal proses penyidikan yang dilakukan oleh teman-teman Polda Jatim sejak awal. Oleh karena itu, saat ini penggalian dan otopsi merupakan bagian dari proses penyidikan. Otopsi dilakukan untuk mengetahui penyebab kematiannya. “Agar penyidik selanjutnya bisa melakukan penyidikan dengan sebaik-baiknya,” kata Benny.
Sejauh ini, polisi telah menetapkan enam tersangka dalam tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) Ahmad Hadian Lukita, Ketua Arema FC Panpel Abdul Haris, Petugas Keamanan Suko Sutrisno, Kabag Operasi Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Danki III dari Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman dan Kabid. Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Ahmadi.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan penyelidikan yang dilakukan oleh lembaganya harus mengungkap tragedi itu dan menjebak lebih banyak tersangka.
Pesan ini akan diperbarui.
Jurnalis Malang Lucky Aditya berkontribusi dalam laporan ini.