
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Polisi diduga salah menangkap dan melakukan kekerasan terhadap lima terdakwa di Yogyakarta dalam kasus kejahatan jalanan “klitih” yang menyebabkan satu orang meninggal dunia pada April silam.
Tuduhan oknum aparat polisi melakukan rekayasa kasus terus bergulir dan mengakibatkan citra kepolisian semakin “terpuruk”, pegiat dan pakar kembali menyerukan reformasi total di tubuh kepolisian. Namun staf ahli Kapolri mengeklaim kepolisian telah melakukan “langkah penindakan yang kongkrit”.
Polisi diduga salah menangkap dan melakukan kekerasan terhadap lima terdakwa di Yogyakarta dalam kasus kejahatan jalanan “klitih” yang menyebabkan satu orang meninggal dunia pada April silam.
Kini, mereka menghadapi tuntutan 10-11 tahun penjara. Putusan pengadilan terkait nasib kelima terdakwa itu akan digelar pada Selasa (08/10).
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mencatat beberapa kejanggalan yang memperkuat dugaan kekerasan dan “rekayasa” kasus yang dilakukan aparat polisi terhadap kelimanya.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan rekayasa kasus yang dilakukan pejabat kepolisian Ferdy Sambo baru-baru ini, menjadi momentum makin banyak publik yang mengungkap rekayasa kasus yang dialami mereka, dan di sisi lain, memperburuk kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
“Turunnya tingkat kepercayaan publik ini bagus, dalam arti kita bisa dorong terus untuk melakukan reformasi kepolisian yang lebih total. Jadi bukan hanya soal citra kepolisian, tapi bagaimana mereka bekerja, cara mereka diawasi, dan wewenangnya, supaya mereka lebih baik fungsinya,” ujar Bivitri kepada BBC News Indonesia, Senin (07/10).
Adapun, staf ahli Kapolri mengeklaim citra polisi saat ini sedang “terpuruk karena kasus yang spektakuler yang merembet pada dibukanya semua aib polisi”, namun mengeklaim, Kapolri telah melakukan langkah kongkrit menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran.
‘Mata saya dilakban dan dipukul’
Lewat panggilan video dari dalam lembaga permasyarakatan (lapas) Wirogunn di Yogyakarta, seorang remaja mengaku mengalami kekerasan dari oknum polisi di Polsek Sewon, Bantul, yang menangkapnya April silam.
“Itu seminggu setelah kejadian perang sarung. Saya itu ditangkap langsung dibawa ke Polsek Sewon. Saya disuruh mengakui tentang kejadian Perang Sarung, saya langsung mengakui kejadian Perang Sarung itu, kok tiba-tiba mata saya dilakban,”tuturnya. BBC News Indonesia tidak mengungkap identitas demi keselamatannya.
Dia lalu merinci kekerasan yang dia alami kala itu.
“Waktu dilakban itu dipukuli, pak. Itu saya ditangkap sekitar jam 12.30 malam lalu [mata] saya diplester, lalu dipukuli sampai pagi,” ungkapnya kepada para hadirin dalam konferensi pers yang digelar di Yogya, Senin (07/11) siang.
Dia kemudian mengeklaim bahwa dirinya “dipaksa mengaku” kesalahan yang tak dia lakukan.
Sementara terdakwa yang lain, mengaku dipukul di bagian dada dan perut. Selain itu, dirinya ditodong penyidik dengan senjata api, agar mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
“Terpaksa ngakuin karena udah enggak kuat, sempat mau pingsan saya dipukulin.”
Mereka, bersama tiga terdakwa lain, mendapat kekerasan dari para penyidik demi mendapatkan pengakuan terkait kasus pembunuhan di kota itu.
Kasus yang dimaksud adalah pembunuhan di kawasan Gedongkuning, Yogyakarta, pada 3 April 2022 dini hari.
Peristiwa itu menewaskan Daffa Adzin Albasith, remaja laki-laki berusia 18 tahun.
Setelah penyidikan dan persidangan bergulir, lima terdakwa menghadapi tuntutan hukuman penjara selama 10 hingga 11 tahun.
‘Anak saya tidak bersalah’
Merujuk pada kronologi versi polisi, kejadian itu bermula dari tawuran antar-kelompok,
Dalam konferensi pers 11 April silam, Polda DIY mengeklaim, awalnya dua kelompok terlibat dalam tawuran “perang sarung”. Lima pelaku yang melintas di kawasan lingkar dalam (ringroad) berpapasan dengan kelompok korban yang terdiri dari delapan orang.
Setelah terlibat adu mulut dan saling salip, pelaku mengayunkan gir – bulatan logam pipih yang bergerigi tempat rantai berpaut untuk memutar roda – dan mengenai wajah korban di kawasan Gedongkuning.
Sementara itu, kronologi versi orang tua para terdakwa, empat dari lima remaja memang terlibat dalam “perang sarung”.
Namun, setelah tawuran bubar, mereka kemudian mampir di sebuah warung makan, keempatnya lantas pulang ke rumah masing-masing.
Pada 9 April 2022, polisi menjemput kelima pelaku.
Sumber gambar, PBHI
Konferensi pers yang digelar sehari sebelum putusan pengadilan, mengungkap kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian
Salah satu orang tua remaja itu menyebut putranya dijemput untuk dimintai keterangan terkait “perang sarung” yang terjadi pada 3 April 2022.
Diketahui bahwa ketika menjemput terdakwa, polisi datang tanpa surat rekomendasi, baik dari Polda maupun Polsek.
“Penangkapannya itu enggak pakai surat, langsung ambil aja,” ungkap ibu tersebut.
“Tahu-tahu ditangkap, suruh mengakui kalau ikut perang sarung dan ikut mengakui yang terjadi di GedongKuning, padahal anak saya enggak tahu apa-apa.”
Sang ibu “yakin 100%” bahwa putranya tak ikut tawuran yang disebut “perang sarung” tersebut.
“Orang motornya saja berbeda dengan yang di CCTV kok,” tegasnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Aksi lawan klitih pada Januari 2019 yang menunjukkan keprihatinan atas fenomena kejahatan jalanan di Yogyakarta.
Orang tua terdakwa yang lain mengaku tak bisa menengok anaknya selama ditahan polisi.
“Saya bisa bertemu dengan anak sesudah sebelas hari [ditahan]. Saya melihat anak saya ibu jarinya itu biru. Saya tanya itu katanya diinjak pakai kursi.”
“Sambil ketakutan bilang gitu, penyidik keluar masuk, keluar masuk,” ungkap perempuan tersebut.
Alih-alih kembali ke pangkuan, putranya tersebut justru dijadikan tersangka dan kemudian diadili di pengadilan.
Dalam sidang putusan nanti, dia hanya berharap anaknya dibebaskan dari segala tuntutan.
“Harapannya anak saya bebas, karena anak saya tidak bersalah.”
Perbedaan bukti dan kronologi
Dalam persidangan sebelumnya, penuntut umum menghadirkan bukti-bukti berupa dua sepeda motor, gir dan talinya, golok, parang, serta rekaman CCTV dari tempat kejadian perkara (TKP).
Namun, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Arsiko Daniwidho Aldebarant mengeklaim kronologi serta bukti-bukti yang ditemukan memiliki perbedaan dengan kronologi yang tercantum dalam surat dakwaan sehingga menimbulkan kejanggalan.
Bukti-Bukti yang memperkuat dugaan salah tangkap, antara lain para terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP), bahkan tidak melewati TKP pada saat kejadian perkara.
Selain itu, gir yang dijadikan barang bukti, adalah gir yang sebelumnya disimpan oleh saksi.
Saat gir tersebut ditemukan, dalam keadaan yang kotor oleh oli dan rumah serangga – tidak ada bekas darah. Polisi mengambil tanpa sarung tangan atau alat tertentu.
Ditambah lagi, pengambilan rekaman CCTV dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya dengan cara menyalinnya langsung, bahkan rekaman CCTV di TKP hanya direkam ulang menggunakan ponsel.
Mereka juga bersikukuh bahwa rekaman CCTV tidak dilakukan secara sah menurut Undang-Undang tentang ITE, yang pada intinya, informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keontentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya.
Keganjilan lain adalah menurut mereka, jaksa melakukan analisis terhadap pelaku hanya berdasar pada bentuk tubuh.
Juga, dalam rekaman CCTV yang dihadirkan oleh jaksa, tidak memperlihatkan siapa pelaku sebenarnya, bahkan tidak menjadikan terang perkara ini.
Saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum tidak melihat jelas siapa pelaku, hanya ada satu saksi yang yakin bahwa para terdakwa adalah pelaku.
Ketika dimintai tanggapan, Humas Polda DIY Kombespol Yulianto menjawab bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat dugaan salah tangkap, “maka prosedur hukumnya adalah mengajukan gugatan ke pengadilan”.
“Namanya gugatan praperadilan,” jelasnya dalam pesan tertulis.
Lima keganjilan
Adapun, Kepala Staf Divisi Hukum KontraS, Abimanyu Septiadji, mengungkap bahwa pihaknya menemukan lima keganjilan dalam kasus tersebut, salah satunya ketika proses penangkapan hingga pemeriksaaan di kepolisian, seluruh terdakwa tidak diberikan akses bantuan hukum yang memadai.
Padahal, apabila mengacu Pasal 54 KUHP, tersangka atau terdakwa memilikihak untuk mendapat bantuan hukum yang ditunjuk oleh tersangka.
“Kami juga menemukan dalam proses penyidikan dan penyelidikan oleh kepolisian, saksi dan para terdakwa diduga mengalami sejumlah tindakan penyiksaan,” ungkap Abimanyu.
“Para terdakwa, mengaku disiksa untuk mengakui perbuatan yang sebetulnya tidak mereka lakukan, yaitu tindak penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang”
Abimanyu menjelaskan ada beberapa “penyiksaan” yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian, antara lain:
- pemukulan di bagian kepala, pelipis, perut, rahang dan pipi
- pelemparan asbak, rambut dijambak, ditendang
- pemukulan menggunakan alat kelamin sapi
- mata ditutup dengan lakban
- pembenturan kepala ke tembok
- penodongan pistol
Tindakan kekerasan dan intimidasi yang dialami para terdakwa tersebut, menurut Abimanyu, dapat dikategorikan tindakan penyiksaan demi “mengejar pengakuan dari tersangka”.
Pengakuan inilah yang nantinya digunakan sebagai salah satu alat bukti kejahatan yang dituduhkan.
Selain itu, KontraS juga menemukan bahwa oknum kepolisian tak hanya melakukan kekerasan terhadap para terdakwa, tapi juga kerap diduga melakukan kekerasan terhadap salah satu saksi.
“Saksi tersebut mengaku seluruh keterangan kesaksian dalam berita acara pemeriksaan adalah hasil pengaruh dibawah tekanan penyidik.”
“Bahkan dia kerap mengalami tindakan keji seperti pemukulan, dilempar menggunakan aspak, hingga kepalanya dibenturkan ke tembok,” ungkap Abimanyu.
Rekaman CCTV yang menjadi petunjuk penyidik, lanjut Abimanyu, tidak secara pasti bahwa benar-benar kelima terdakwa itulah yang melakukan penganiayaan yang berujung kematian.
Keputusan untuk menetapkan kelima remaja sebagai terdakwa, menurut keterangan saksi penyidik di pengadilan, hanya merujuk pada “keputusan tim”, namun tidak jelas pertimbangan tim dalam memutuskan para terdakwa adalah pelaku yang sebenarnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
“Kami menilai keterangan ini penting sebab hal ini semakin menguatkan bukti bahwa sebetulnya kepolisian tidak begitu yakin bahwa para terdakwa merupakan pelaku tindak pidana.”
Abimanyu melanjutkan, dalam proses persidangan KontraS menemukan bahwa tidak sedikit keterangan saksi dalam BAP berbeda jauh dengna keterangan yang disampaikan di pengadilan.
Sejumlah saksi menjelaskan kepada majelis hakim bahwa keterangan yang ditulis dalam BAP tidak seluruhnya merupakan keterangan saksi.
Rekayasa kasus bukan kali ini saja terjadi, KontraS mencatat setidaknya ada 27 rekayasa kasus yang dilakukan oknum kepolisian dalam kurun waktu tiga tahun sepanjang 2019-2022.
Pola-pola rekayasa kasus
Namun pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, mengungkap bahwa kasus yang sebenarnya bisa jadi lebih dari itu.
Rekayasa kasus yang terjadi di Indonesia, menurut Bivitri, sudah “sangat parah” dan “laten”.
Dia melanjutkan bahwa rekayasa atau manipulasi kasus adalah “cara yang mudah” bagi kepolisian untuk bekerja.
“Maksud saya melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang tidak punya akses untuk mendapatkan bantuan hukum alias biasanya yang diincar itu orang-orang miskin atau anak-anak,” ungkap Bivitri.
“Jadi dianggapnya oleh polisi, ‘Kita siksa aja biar mereka ngaku’. Mereka tidak perlu ribet melakukan penyidikan dan penyelidikan, bisa langsung diproses. Itu jadi prestasi polisi, mereka dapat kredit bahwa mereka sudah menyelesaikan suatu kasus,” jelasnya.
Tak bisa dipungkiri, kata Bivitri, bahwa dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, pengakuan dari pelaku itu dijadikan alat bukti. Sehingga, banyak penyidik mengambil jalan pintas meminta pengakuan pelaku dengan kekerasan.
Dia melanjutkan, mereka yang biasanya dipaksa mengakui kesalahan yang tak mereka perbuat adalah kelompok warga miskin.
“Dalam beberapa kasus homeless people (gelandangan) yang lagi nongol di pinggir jalan langsung diambil, langsung digebukin, langsung disuruh ngaku,” katanya.
“Jadi polanya sama, pasti mencari orang yang tidak mampu dan tidak mendapat bantuan hukum yang cukup sehingga polisi bisa melakukan apa saja,” ujar Bivitri Kemudian.
Fenomena rekayasa kasus, bukanlah hal yang baru, kata Bivitri. Pada tahun 1970-an silam, terungkap rekayasa kasus pembunuhan pasangan suami istri yang kemudian memicu dibentuknya mekanisme peninjauan kembali.
Maka dari itu, tegas Bivitri, kepolisian harus betul-betul direformasi
Semestinya, kepolisian berfokus pada fungsinya sebagai penyelidik sehingga mereka tidak menggunakan kekerasan untuk mendapat pengakuan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan pers terkait penetapan tersangka kasus tragedi Kanjuruhan di Mapolresta Malang, Jawa Timur, Kamis (6/10)
Tapi sebaliknya, mereka melakukan penyidikan dan penyelidikan yang profesional.
“Jadi reformasi total ini perlu dilakukan,” tegasnya.
Senada, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian, Bambang Rukmanto, rekayasa kasus ini tak lepas dari “kultur di kepolisian” dan “pengawasan yang kurang”, sementara kewenangan yang diberikan oleh kepolisian sangat besar.
Pengawasan yang kurang, kewenangang yang besar, kata Bambang, akhirnya membuat oknum kepolisian berbuat sewenang-sewenang.
“kemudian ditambah lagi kultur saling menutupi dan seringkali menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi,” jelas Bambang.
Sedangkan reformasi kepolisian yang diharapkan membawa dampak yang baik bagi masyarakat, menurutnya, “nyaris tidak ada”.
‘Tindakan tegas’ dan ‘langkah kongkrit’
Dalam hal salah tangkap, menurut Bivitri kuncinya adalah untuk membuat kepolisian lebih akuntabel dan lebih bisa diawasi.
“Jadi kalau ada kasus seperti ini mereka harus dapat sanksi.”
Sayangnya, menurut Bivitri, selama ini tidak ada penindakan bagi anggota polisi yang terbukti melakukan salah tangkap atau rekayasa kasus.
“Pihak polisinya sendiri tidak pernah diusut, siapa yang melakukan penyiksaan. Itu kan harusnya betul-betul dibereskan,” tegasnya.
“Misalnya unit mana yang melakukan penyiksaan, harusnya dibongkar, dikasih sanksi, kalau perlu reorganisaso. Pokoknya dituntaskan.
“Itu setahu saja belum pernah terjadi, atau kalau sudah terjadi, belum diumumkan ke publik,” jelas Bivitri kemudian.
Akan tetapi tudingan itu ditepis oleh sekretaris staf ahli Kapolri, Irjen (Pur) Aryanto Sutadi.
Dia mengeklaim bahwa Kapolri telah melakukan “tindakan tegas” dan “langkah kongkrit” terhadap anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran.
“Kalau akhir-akhir ini langkah kongkrit yang dilakukan adalah Sambo oknum yang jahat itu, kemudian diproses penyidikan yang paling berat, yaitu tuntutan perencanaan pembunuhan dan kemudian obstruction of justice.”
“Termasuk juga orang yang membantu Pak Sambo, itu pun dihukum tegas oleh Pak Kapolri. Semua dipecat walaupun kesalahannya kecil dan kemudian yang lain dikirim ke pengadilan. Itu salah satu bukti nyata,” jelas Aryanto.
Sebelumnya, masih menurut Aryanto, Kapolri sudah banyak menindak anggotanya di berbagai daerah di Indonesia yang melakukan pelanggaran, baik etik dan pidana.
“Kurang lebih sudah ada ratusan orang dalam satu tahun ditindak dan dipecat dari polisi, cuma sayangnya selama ini polisi belum mau memberikan data yang transparan setiap dia melakukan tindakan yang tegas, sehingga dianggapnya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh polisi selama ini dibiarkan,” bela Aryanto.
Sayangnya, menurut Bambang Rukmato dari ISESS, penindakan itu tidak menimbulkan efek jera.
Rekayasa kasus, menurutnya, masuk dalam unsur pidana, namun seringkali dengan dalih kesalahan prosedur dan kesalahan disiplin, mereka hanya diberikan sanksi ringan atau sedang saja.
“Padahal kalau kita lihat rekayasa sebuah kasus dampaknya sangat besar dan masuk unsur pidana, mereka seharusnya mendapat sanksi berat. Tapi fakta-faktanya kan tidak,” cetus Bambang.
Citra polisi ‘terpuruk’
Lebih jauh, Aryanto menjelaskan citra polisi memang sedang terpuruk karena kasus yang spektakuler yang melibatkan pejabat kepolisian Ferdy Sambo, yang menurutnya, “merembet pada dibukanya semua aib polisi dan kemudian dimanfaatkan oleh kelompok yang tidak suka polisi”.
Menanggapi itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengakui bahwa kasus Sambo menjadi “momentum” untuk pengungkapan rekayasa kasus yang lain.
“Publik sekarang jadi berani speak up dan orang yang merasakan ketidakadilan seperti kasus klitih dan kasus sebelumnya baru-baru ini, jadi berani untuk ngomong dan akhirnya terbuka, dan akhirnya mulai turun [citra polisi].”
“Dan buat saya, turunnya tingkat kepercayaan publik ini bagus, dalam arti kita bisa dorong terus untuk melakukan reformasi kepolisian yang lebih total. Jadi bukan hanya soal citra kepolisian, tapi bagaimana mereka bekerja, cara mereka diawasi, dan wewenangnya, supaya mereka lebih baik fungsinya,” jelas Bivitri.
Merujuk dua hasil survei baru-baru ini, kepercayaan publik terhadap kepolisian menurun, usai rekayasa kasus yang melibatkan pejabat polisi Freddy Sambo dan Tragedi Kanjuruhan.
Bahkan, citra kepolisian terungkap lebih buruk ketimbang institusi penegak hukum lainnya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan.
Bambang Rukmato dari ISESS menegaskan untuk memperbaiki citra polisi, perlu dibangun reformasi sistem kontrol dan pengawasan.
Kewenangan yang sangat besar yang diberikan kepada kepolisian, kata Bambang, seharusnya diiringi dengan kontrol dan pengawasan yang baik.
“Tapi problemnya kan kewenangan itu juga meliputi kontrol dan pengawasan juga. Mulai perumusan kebijakan, operasional dan pengawasan, itu kan dilakukan oleh kepolisian sendiri,” kata Bambang.
“Makanya kasus-kasus seperti ini terulang lagi.”
Dia kemudian melanjutkan bahwa kasus Sambo adalah ,”puncak gunung es” dari problem sistemik di kepolisian.
Selama kepolisian tidak memperbaiki sistem, Bambang meyakini, rekayasa kasus akan terus terjadi.