- Penulis, Penghargaan bola lampu
- Peran, Berita BBC Indonesia

sumber gambar, antara foto
Sejumlah aktivis Extinction Rebellion Indonesia (XR Indonesia) dan Walhi Jakarta melakukan aksi di Jembatan Pinis, Jakarta, menanggapi sikap diam para aktivis saat acara G20 di Bali.
Kelompok masyarakat sipil mengklaim terjadi “keheningan” atas hak berbicara selama KTT G20 di Bali.
Pertemuan para pemimpin ekonomi terbesar dunia – yang berakhir pada Rabu (16/11) – terjadi di tengah laporan tentang pembubaran aktivitas massa dan penangkapan pengunjuk rasa.
Pratiwi Febry, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan maraknya intimidasi terhadap aktivis merupakan peringatan akan penyempitan ruang demokrasi Indonesia.
“Ini benar-benar alarm bagi kami [kita] Saya tidak bisa diam lagi,” katanya.
YLBHI diintimidasi oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai Pecalang atau Polisi Rakyat Bali saat diskusi internal mereka dibubarkan dengan kekerasan di Sanur, Sabtu (12/11).
Intimidasi Satpol PP dan polisi juga dirasakan mahasiswa yang berdemonstrasi menolak KTT G20 di Bali dan sejumlah kota lainnya.
Polisi di Bali mengatakan mereka akan menyelidiki insiden tersebut tetapi menyesalkan bahwa beberapa demonstrasi diadakan tanpa memberi tahu polisi.
Aktivis berpendapat bahwa negara harus memberikan ruang bagi perspektif warga selama KTT G20 agar program yang digagas pada pertemuan tersebut tidak sia-sia.
Serangkaian aksi intimidasi selama KTT G20
Pada Sabtu (12/11), diskusi antara pengurus YLBHI dengan pimpinan 18 lembaga bantuan hukum di sebuah vila di kawasan Sanur Bali dibubarkan dengan kekerasan oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai pecalang atau polisi biasa.
Pratiwi Febry mengatakan, mereka didatangi aparat desa pada Sabtu sore yang mempertanyakan kegiatan tersebut dan meminta YLBHI mengeluarkan pernyataan. Mereka juga meminta KTP pengelola acara. Permintaan ini dipenuhi oleh pengurus YLBHI.
Sore harinya, kata Pratiwi, sekelompok orang yang mengaku sebagai Pecalang masuk ke dalam vila. Mereka mengintimidasi peserta acara dan berusaha mencari dan memeriksa semua ponsel dan laptop.
“Kami menolak karena tidak ada dasar hukumnya,” kata Pratiwi.
Aktivis dari berbagai kelompok masyarakat sipil di Jakarta memprotes intimidasi dan bungkamnya aparat keamanan di Bali.
Pratiwi mengatakan orang-orang itu datang bersama polisi. “Banyak” tentara dengan rompi polisi berjaga di depan vila, katanya.
Masyarakat yang mengaku sebagai Pecalang meminta agar nama seluruh peserta dicatat. Permintaan ini dipenuhi oleh pengurus YLBHI. Namun, pengasuh bersikeras mereka tidak boleh diganggu dan mengatakan mereka akan pulang pada sore hari seperti yang direncanakan.
Peserta acara tidak diperbolehkan meninggalkan vila. Setelah beberapa negosiasi, beberapa peserta diperbolehkan keluar dan kembali ke akomodasi masing-masing, sementara yang lain harus menginap di villa. “Kami sampaikan ini diskusi internal, tidak ada tindakan atau apapun, akhirnya pulang,” kata Pratiwi.
Keesokan harinya, Minggu (13/11), pengurus YLBHI kembali dilarang keluar vila dengan mengaku sebagai Pecalang. Mereka mengatakan mereka memiliki surat perintah polisi.
YLBHI menelepon Polda Bali yang mengatakan tidak ada perintah seperti itu. Kemudian mereka memanggil Polres Denpasar Selatan, polisi juga mengatakan tidak pernah memberi perintah.
“Saat itulah kami memutuskan, ‘oh tidak, itu tidak benar,’ karena mereka bukan siapa-siapa. Mereka memaksa kami, kami diusir. Polisi tidak datang sampai kami akan pergi,” kata Pratiwi.
Pratiwi menyebut pembubaran diskusi G20 sebagai tindakan tawuran dan main hakim sendiri. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tindakan tersebut merupakan penindasan atau pembungkaman demokrasi.
“Bahwa ketika YLBHI hanya memuat konten ini, direksi yang berkumpul, yang notabene kami advokat dan aparat penegak hukum, berani diredam, artinya ruang demokrasi sudah mati.
“Mereka berani mengambil keadilan ke tangan mereka sendiri di ruang demokrasi di mana hukum dan hak asasi manusia tidak lagi dihormati oleh mereka sama sekali… Jika kita diperlakukan seperti itu, itu puncak gunung es, apalagi.” orang biasa,” katanya.
sumber gambar, antara foto
Aktivis mengatakan KTT G20 didominasi oleh elit dan tidak memasukkan perspektif warga.
Pemda Bali memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM – kebijakan untuk memerangi pandemi – selama KTT G20. Kebijakan ini belakangan dijadikan dasar serangkaian intimidasi terhadap kelompok masyarakat sipil.
Selain YLBHI, sejumlah mahasiswa juga diintimidasi saat memprotes penyelenggaraan KTT G20.
Tujuh mahasiswa yang tergabung dalam Majelis Rakyat Indonesia (IPA) ditangkap Satpol PP Provinsi Bali pada Selasa (15/11) karena melakukan aksi pengibaran spanduk di Denpasar.
Kepala Satpol PP mengatakan kepada media bahwa ketujuh mahasiswa tersebut dipulangkan setelah dimintai identitasnya dan diminta untuk tidak melakukan tindakan apapun di depan umum.
Mahasiswa yang berdemo menentang KTT G20 juga ditangkap di wilayah lain. Sebanyak 26 mahasiswa ditangkap polisi saat melakukan aksi di Bundaran Bank Indonesia Mataram dan di Lombok Timur.
“Pengunjuk rasa ditangkap dan dibawa paksa ke Polres Mataram Kota,” kata Koordinator LBH Mataram Badarudin. Tempo.co.
Kabid Humas Polda Bali Kombes. Tiang. Stefanus Satake Bayu Setiato mengatakan demo mahasiswa di Denpasar dilakukan tanpa pemberitahuan ke polisi.
Menurutnya, Satpol PP dan Pecalang bertindak tanpa koordinasi dengan pihak kepolisian.
“Oleh karena itu, sangat disayangkan kegiatan yang mereka lakukan [mahasiswa] karena di sini TNI Polri berkonsentrasi untuk memastikan event-event internasional yang diperlukan semuanya mati seperti itu,” kata Satake kepada BBC News Indonesia.
Dia berpendapat bahwa jika pengunjuk rasa angkat bicara, polisi akan mengambil tindakan pengamanan.
“Kita adalah negara hukum yang sudah memiliki aturan. Berbicara di depan umum adalah hak dan boleh, tapi setidaknya ada laporan ke polisi sehingga polisi bisa mengambil tindakan untuk mengamankannya,” katanya.
Ketua Majelis Desa Adat Bali Provinsi Bali Agung Putra Sukahet tidak menanggapi permintaan wawancara dari BBC News Indonesia.
sumber gambar, antara foto
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Indonesia siap melakukan transisi energi menuju sumber energi terbarukan.
Komnas HAM mengatakan menerima laporan penangkapan sejumlah mahasiswa yang melakukan protes di KTT G20.
Badan tersebut percaya penangkapan itu melanggar hak asasi manusia yang dilindungi secara hukum untuk berserikat, berkumpul dan berekspresi.
“Komnas HAM RI mengimbau aparat penegak hukum bertindak sesuai hukum, mengikuti prosedur prosedural, tidak melakukan tindakan represif, serta mengedepankan pendekatan humanistik dan persuasif dalam menghadapi aksi massa,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam komentar tertulis.
Perlu perspektif warga negara
Ashov Birry, Program Director Trend Asia mengatakan, alih-alih diintimidasi, sebaiknya warga setempat diberi ruang untuk menghadiri KTT G20 secara langsung. Dia menjelaskan, kesepakatan yang dibuat dalam rapat besar itu membutuhkan perspektif warga.
Misalnya, Just Energy Transition Partnership (JETP) – di mana Indonesia menerima US$20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun dari negara maju untuk mempercepat transisi energi ke sumber energi bersih di Indonesia. Program tersebut meliputi penutupan dini pembangkit listrik tenaga batu bara dan percepatan produksi energi terbarukan.
Ashov menekankan bahwa proses transisi energi tidak dapat terjadi dalam ruang hampa. Sebelumnya, banyak warga yang menceritakan bagaimana proyek energi di sekitar rumah mereka merusak kohesi sosial dan mencemari lingkungan.
Menurut Ashov, tanpa perspektif warga, program tersebut berpotensi menimbulkan konflik dan menjadi tidak berkelanjutan sehingga membuang-buang uang.
“Energi terbarukan yang disebutkan Luhut kemarin, terutama pembangkit listrik tenaga air besar dan energi panas bumi. Ada warga sekitar yang terkena dampak PLTA dan panas bumi. Perlu diketahui bahwa sejarah energi panas bumi seperti ini …
“Ada tanah orang yang tenggelam, ada hilangnya keanekaragaman hayati. Padahal, pembangkit listrik tenaga air masih mengeluarkan gas metana sebagai gas rumah kaca. Secara geothermal kita lihat di Jawa Tengah ada konflik, di NTB ada konflik, di Sumatera Sorik Marapi ada cerita warga bahkan sekarat,” kata Ashov.
Ashov mengatakan dia memahami bahwa pemerintah ingin menekan sebanyak mungkin perbedaan pendapat yang menimbulkan citra di depan tamu asing. Namun, menurutnya, hal itu hanya memperburuk keadaan.
“Intinya, mereka tidak ingin berada di sana perbedaan pendapat Ya, saya ingin cerita yang bagus. Ya, itu bisa bagus asalkan Anda memberi ruang. Mengapa Anda takut pada warga?