- Penulis, Ali Francis
- Peranan, BBC Worklife

Sumber gambar, Alamy
Cinderella dan ibu tirinya yang jahat.
Ibu tiri selalu digambarkan sebagai perempuan jahat yang tidak menyayangi anak tirinya. Padahal stereotipe itu tidak didukung oleh bukti ilmiah. Mengapa anggapan buruk ini masih ada?
Dunia fiksi penuh dengan ibu tiri yang jahat, atau bahkan monster pembunuh.
Seperti ibu tiri Putri Salju yang iri hati dan penyihir di Hansel dan Gretel yang membuang anak tirinya ke hutan.
Keduanya termasuk dalam jenis perempuan jahat dengan “nafsu rakus akan penderitaan manusia, kadang-kadang bahkan makan daging dan darah atau hati dan jantung kerabat mereka sendiri”, tulis Maria Tatar, profesor sastra, cerita rakyat, dan mitologi di Universitas Harvard, dalam The Hard Facts of the Grimms’ Fairy Tales.
Minimal, karakter jahat ini digambarkan dingin dan tidak penyayang.
Dalam adaptasi Cinderella Disney tahun 1950, Lady Tremaine yang kejam memaksa putri tirinya melakukan pekerjaan rumah yang melelahkan, dan mendorong anak kandungnya untuk menjauhi saudara tirinya.
Film 1961 The Parent Trap menampilkan dua anak kembar yang tanpa sadar terpisah ketika orang tuanya bercerai. Mereka bekerjasama untuk menggulingkan tunangan jahat ayah mereka, dan menyatukan kembali keluarga mereka.
Dan dalam komedi-horor Wicked Stepmother, yang pertama kali tayang 1989, karakter yang diperankan oleh Bette Davis bukan hanya seorang ibu tiri, tetapi juga penyihir, secara literal dan figuratif.
Bukan kebetulan bahwa saat ini ibu tiri dianggap kurang disukai dibandingkan sosok keluarga lainnya.
Ibu tiri sering dianggap kurang penyayang, tidak baik hati, tak bahagia dan tak disukai. Ibu tiri dianggap lebih kejam, tidak adil, dan bahkan penuh kebencian.
Biasnya terjalin ke dalam bahasa: kata ‘step‘ dalam ‘step mother‘ berevolusi dari bahasa Inggris Kuno ‘steop‘, yang menangkap rasa kehilangan dan kekurangan. Bahkan dalam bahasa sehari-hari, menggambarkan sesuatu sebagai ‘anak tiri’ adalah metafor inferioritas.
Meskipun keluarga tiri pasti menghadapi tantangan dan konflik yang dapat memperkuat beberapa elemen dari stereotipe ini, tidak ada bukti nyata yang mendukung karikatur ibu tiri yang jahat ini.
Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa ibu tiri justru memberi manfaat unik bagi keluarga, sebagai perekat yang menyatukan anggota setelah berpisah, dan memberikan dukungan ekstra bagi anak-anak yang berduka.
Lalu, mengapa persepsi buruk ini bertahan?
Ketika keluarga tiri menjadi semakin umum di seluruh dunia, mungkinkah kiasan ini suatu hari memudar dan menjadi tidak relevan?
Sumber gambar, Alamy
Munculnya stereotipe ibu tiri jahat
Stereotipe ibu tiri yang jahat ada dalam dongeng dan cerita rakyat di seluruh dunia selama ribuan tahun. Beberapa cerita bahkan berasal dari zaman Romawi.
Di dalam Alkitab pun: Sarah, sang ibu pemimpin yang melahirkan putra Abraham, membuang anak-anaknya yang lain agar tidak perlu berbagi warisan.
Namun, sebagian besar karakter populer yang menjadi dasar film dan sastra modern bermula pada tahun 1812. Saat itu, Jerman Jacob dan Wilhelm Grimm pertama kali menerbitkan koleksi mereka, Children’s and Household Tales.
Mereka menggunakan penggalan-penggalan cerita lisan dan mengadaptasikannya ke dalam narasi baru, yang kombinasinya mencatat dongeng seperti Hansel dan Gretel, Cinderella dan Putri Salju.
Meski fiktif, fokus pada ibu tiri memang mencerminkan beberapa kebenaran tentang masyarakat abad ke-19.
“Ketika dongeng-dongeng ini diciptakan, rentang hidup sangat rendah,” kata Lawrence Ganong, profesor emeritus perkembangan manusia di University of Missouri, AS, yang mempelajari keluarga tiri selama puluhan tahun.
Perempuan sering meninggal saat melahirkan, meninggalkan anak-anak dalam pengasuhan ayah saja. Ibu tiri jahat yang muncul di halaman dongeng memberikan nasihat peringatan keluarga: ayah harus melindungi dan mendukung anak-anaknya, dan ibu tiri harus melakukan hal yang benar untuk anak tirinya. Jika tidak, hal buruk akan terjadi.
Cerita-cerita itu juga menawarkan saluran terapeutik yang aman bagi pembaca untuk memproses perasaan tabu – seperti kemarahan dan kebencian pada ibu, kata Tatar.
Pada tahun 1800-an, para ayah kemungkinan besar menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda, yang mungkin seusia dengan putri tiri mereka.
Dalam keadaan seperti itu, segala macam perasaan “aneh dan intens” mungkin muncul. Misalnya, rasa persaingan atas perhatian ayah, “kontes kecantikan” antar generasi seperti yang kita lihat di Putri Salju dan “banyak perjuangan, konflik, dan kemarahan”, kata Tatar.
Berabad-abad sejak Grimm bersaudara menerbitkan dongeng mereka, ibu tiri yang jahat berubah dari cerita menjadi kehidupan nyata.
Bahkan ketika perceraian, pernikahan kembali, dan pembentukan keluarga tiri menjadi lebih umum di akhir abad ke-20, berbagai psikolog membantu mengaburkan fakta dan fiksi.
Beberapa dari mereka yakin bahwa manusia secara biologis diprogram untuk melindungi anak-anak genetik, baru kemudian anak tiri.
Akibatnya, anak tiri lebih berisiko mengalami perlakuan buruk, kata Lisa Doodson, psikolog Inggris yang berspesialisasi dalam dinamika keluarga tiri.
Pada tahun 1970-an, para peneliti menamai kasus pelecehan orang tua tiri dengan: Efek Cinderella.
Penelitian sejak itu mengungkap bahwa orang tua tiri memang menyakiti anak-anak pada tingkat per kapita yang lebih tinggi daripada orang tua genetik.
Tetapi penting untuk dicatat bahwa hampir semua contoh kekerasan melibatkan ayah tiri, bukan ibu tiri.
Studi lain mungkin secara tidak sengaja membantu mengabadikan mitos tentang ibu tiri. Dalam sebuah penelitian pada tahun 1980-an, ibu tiri melaporkan bahwa mereka merasa lebih dekat dengan anak kandung daripada anak tiri, meskipun jika anak-anak itu satu bapak.
Mereka yang telah memiliki anak sendiri juga melaporkan merasa kurang puas dengan peran mereka sebagai ibu tiri. Namun, semua ini tidak berarti ibu tiri itu kejam.
Bukti empiris nampaknya tidak diperlukan untuk terus menghidupkan stereotipe ibu tiri yang menyebalkan dan mengabaikan anak tirinya. Stereotipe ini terus berkembang karena alasan yang sama seperti berabad-abad yang lalu, kata Ganong. Yaitu, cita-cita seputar keluarga inti yang sangat penting dan hubungan biologis orangtua-anak yang sakral.
Sepanjang 1990-an dan awal 2000-an, film klasik Disney seperti Snow White: A Tale of Terror (1997) dan Ever After (1998), yang didasarkan pada Cinderella – terus mengutuk keluarga tiri.
Anggapan itu sepertinya tertanam kuat dalam jiwa publik: ibu tiri sering lalai, dan sebaik-baiknya ibu tiri akan menjadi pengasuh kelas dua, dan seburuk-buruknya bisa jadi pembunuh keji.
‘Ibu tiri yang jahat tidak muncul dalam data’
Terlepas dari kekuatan anggapan itu, hanya ada sedikit bukti yang membuktikan ibu tiri berperilaku tanpa perasaan seperti karikatur budaya populer.
Justru ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa ibu tiri tidak seperti itu.
“Mayoritas ibu tiri rukun dengan anak tiri mereka,” kata Ganong, yang telah membaca hampir 3.000 laporan penelitian tentang topik ini, dan berbicara dengan anggota keluarga tiri yang tak terhitung jumlahnya.
“Ibu tiri yang jahat tidak muncul dalam data,” kata Todd Jensen, asisten profesor di University of North Carolina, AS, yang mempelajari pola hubungan antara orang tua tiri dan anak tirinya.
Dalam survei tahun 2021 terhadap 295 anak tiri, Jensen menemukan bahwa sebagian besar anak memiliki hubungan positif dengan ibu tiri mereka.
Peserta ditanya tentang seberapa dekat perasaan mereka dengan ibu tiri mereka, seberapa besar mereka berpikir ibu tiri mereka peduli, apakah dia hangat dan penuh kasih sayang, serta seberapa puas mereka dengan komunikasi dan hubungan secara keseluruhan.
Dalam sampel ini, skor rata-rata kualitas hubungan ibu tiri dan remaja adalah 3,91 dari 5.
Hubungan ibu tiri yang positif semacam ini bisa sangat bermanfaat bagi seorang anak.
Dibandingkan dengan hubungan yang lebih negatif, Jensen menemukan bahwa hubungan positif dengan ibu tiri menyebabkan rendahnya tekanan psikologis, kecemasan, depresi, dan kesepian yang disebabkan oleh pembentukan keluarga tiri. Kehidupan sosial dan akademik pun menjadi lebih baik.
Ibu tiri benar-benar dapat “memberikan kontribusi unik untuk kesejahteraan seorang anak”, katanya.
Hal ini akan lebih terasa benar setelah perceraian, kata Cara Zaharychuk, seorang konselor Kanada yang mempelajari peran ibu tiri dalam perpisahan.
Dengan menghabiskan waktu berkualitas bersama anak-anak setelah perceraian, Zaharychuk menemukan bahwa ibu tiri dapat membantu anak kembali merasa menjadi bagian dari keluarga.
Mereka “juga bisa menjadi dukungan yang luar biasa bagi anak-anak kecil yang ditinggal mati oleh orang tua”, kata Doodson.
Penelitian juga menemukan bahwa tumbuh besar di tengah banyak hubungan orang dewasa, terkait dengan berbagai hasil positif.
Satu studi terhadap hampir 1.000 siswa kelas sembilan di AS menunjukkan bahwa memiliki panutan baik yang bukan orang tua kandung membangun ketahanan emosional, meningkatkan kinerja akademik, dan menetralkan dampak dinamika keluarga yang negatif.
Ibu tiri menawarkan rasa dukungan tambahan yang sama untuk anak-anak. “Memiliki lebih banyak orang yang mencintai dan memperhatikan selalu berdampak positif,” kata Doodson.
Bukan berarti keluarga tiri tidak menghadapi tantangan unik — yang bisa membuat stereotip negatif meresap.
“Meskipun sangat dibesar-besarkan, stereotip ini menunjukkan adanya ketegangan umum yang harus dihadapi keluarga tiri,” kata Jensen.
Yang utama: di mana kita menempatkan waktu dan energi kita?
Apa yang ditekankan oleh banyak dongeng awal adalah semacam pertarungan untuk mendapatkan sumber daya dan perhatian antara ibu tiri dan anak tirinya. Ini adalah “tantangan yang sangat nyata” yang bisa menimbulkan perasaan cemburu, kata Jensen.
Di era Grimm, sebagian besar keluarga tiri terbentuk setelah kematian of ibu biologis.
Saat ini, kemungkinan besar orang tua tiri baru memasuki keluarga setelah perceraian, kata Jensen. Dengan ibu kandung yang masih hidup, seorang anak mungkin merasa ada “ikatan kesetiaan”.
Mereka tidak ingin orang tua kandung mereka “merasa tergantikan”, sehingga mereka mungkin menolak untuk berhubungan dengan ibu tiri mereka di bawah instruksi ibu mereka, baik itu secara nyata atau persepsi saja. Dinamika ini dapat diperparah jika terjadi konflik antara orang tua kandung.
Bukan hanya anak-anak yang mungkin kesulitan menyesuaikan diri dengan situasi keluarga baru mereka. Hidup juga bisa sulit bagi ibu tiri, yang terus-menerus hidup dalam ketakutan dicap licik atau jahat.
Satu survei tahun 2018 terhadap 134 ibu tiri yang tinggal di Selandia Baru menunjukkan 22% secara aktif mengubah perilaku mereka agar tidak dianggap negatif.
Konsekuensinya banyak. “Ibu tiri berusaha terlalu keras untuk menjadi ibu tiri yang super,” kata Doodson. Sikap ini sulit dipertahankan dan mungkin tidak cocok untuk anak-anak yang tidak suka diasuh secara berlebihan oleh figur dewasa baru.
Pada akhirnya, penelitian menunjukkan bahwa ibu tiri tidak jahat, seperti yang mungkin diyakini oleh buku dan film.
Peran yang mereka rasakan dalam sebuah keluarga tergantung pada banyak faktor: seperti kebiasaan keluarga, sikap ibu kandung, dan apa yang mungkin diinginkan atau dibutuhkan anak tiri dalam hal pengasuhan dan pengawasan. Namun data menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tiri memberi dampak positif bagi keluarga.
“Kehidupan keluarga tiri memang menantang, tetapi banyak orang melakukannya dengan baik sebagai orang tua tiri,” kata Ganong. “Sayang sekali bahwa mereka juga harus terus-menerus melawan mitos tentang mereka.”
Sumber gambar, Alamy
Film Juno adalah salah satu media yang membantu menggoyahkan mitos tersebut.
Tanda-tanda perubahan?
Saat ini, tampaknya ibu tiri masih menghadapi persepsi negatif yang berakar pada stereotipe lama.
Ganong sering melakukan latihan asosiasi kata dengan mahasiswanya. Istilah ibu tiri memunculkan kata sifat seperti “jahat, licik, kejam atau tidak peduli”.
Banyak ibu tiri yang Ganong ajak bicara selama puluhan tahun penelitiannya juga enggan menerima label tersebut karena dongeng yang mereka dengar. “Bagi saya, itu merupakan indikasi bahwa stereotipe tersebut masih ada dan berpotensi membahayakan,” kata dia.
Tetapi fakta bahwa keluarga tiri kini menjadi lebih umum, mungkin juga mengubah persepsi. Di AS, tingkat perceraian yang tinggi berarti sekitar 40% orang memiliki setidaknya satu hubungan tiri pada tahun 2011.
Pada tahun yang sama di Inggris, 10% anak tinggal di keluarga tiri, meskipun Doodson menduga itu adalah perkiraan yang terlalu rendah.
Data sensus Kanada dari tahun 2016 memberikan gambaran serupa (meskipun tidak menghitung anak-anak di atas 14 tahun). Ketika keluarga tiri semakin berlipat ganda, ada tanda-tanda stereotipe negatif di sekitar ibu tiri mulai hilang.
“Saya rasa tidak diragukan lagi bahwa stigma tentang keluarga tiri semakin berkurang, karena sudah sangat umum,” kata Jensen.
“Jika Anda memberi tahu seseorang bahwa Anda memiliki orang tua tiri atau Anda sendiri adalah orang tua tiri, kecil kemungkinan seseorang akan terkejut atau mempermasalahkannya.”
Media modern juga menceritakan kisah ibu tiri yang lebih bervariasi sekarang, dari film tahun 1998 Stepmom; hingga serial televisi Modern Family yang menunjukkan hubungan santai dan bahagia yang dimiliki Gloria dengan dua anak tirinya.
Ada juga dukungan penuh kasih sayang yang diterima Juno (2007) yang sedang hamil dari ibu tirinya.
Bahkan mungkin Disney pun suatu hari nanti bisa turut serta. Kini Disney semakin semakin menampilkan hubungan antar perempuan yang positif, seperti hubungan kakak-adik di Frozen atau atau nenek yang penuh kasih di Moana.
Pada tahun 2020, sebuah petisi change.org melobi Disney untuk menampilkan ibu tiri yang baik hati.
Ke depannya, Tatar berharap kita bisa terus menulis ulang cerita ibu tiri dengan cara yang mencerminkan realitas masyarakat saat ini.
Dia mendukung pelestarian catatan sejarah, tetapi tidak ingin kita harus memperkuat stereotipe yang berpotensi berbahaya.
“Kisah itu telah berkembang,” kata dia. “Kita harus menyadari itu, karena cerita rakyat adalah milik kita untuk diciptakan kembali.”