
Sumber gambar, Getty Images
Satu video yang mempertontonkan aksi kekerasan antarpelajar di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Bandung viral di media sosial, November lalu. Berawal dari tantangan yang viral di TikTok.
Video berdurasi 21 detik itu diambil di ruangan kelas yang ramai, tanpa kehadiran guru. Seorang pelajar pria, sosok yang menjadi fokus utama dalam video, dipakaikan helm oleh seorang pelajar lainnya.
Setelah helm tersebut terpasang, siswa yang diidentifikasi sebagai pelaku, memukul dan menendang helm yang dipakai korban hingga terjerembab ke lantai.
Korban itu bernama Muhammad Idan – penulisan nama atas seizin orang tua korban. Ia mengaku dipaksa mengikuti sebuah permainan bernama Tes Kegantengan atau disebut juga Pukul Helm, yang sedang viral di media sosial belakangan ini.
Aturan permainannya: salah seorang pemain dipakaikan helm, sementara sejumlah pemain lainnya bergantian memukul helm tersebut.
Si pemain yang memakai helm harus menebak siapa yang memukul helm. Jika tebakannya tepat, posisinya akan digantikan orang yang berhasil ditebak tersebut.
Permainan itu relatif aman bila pukulannya tidak terlalu keras, tapi yang dialami Idan berbeda. Ia mendapat pukulan dan tendangan kencang dan bertubi-tubi hingga tersungkur. Kepalanya sampai sakit, kata dia.
“Terpaksa [mengikuti permainan itu]. Sudah menolak, tapi dipaksa. [Awalnya], tidak merasa [dirundung]. Saya kira benar Tes Kegantengan, eh ternyata ditendang, terus dipukuli,” kata Idan.
Penolakan Idan itu yang diduga memicu emosi pelaku sehingga melampiaskannya dengan memukul dan menendang membabi buta.
Ketika ditemui saat menjalani berita acara pemeriksaan (BAP) di Satuan Reserse Kriminal Mapolrestabes Bandung, Kota Bandung, Senin (21/11), Idan mengaku sering mengalami perundungan dari si pelaku.
“Pernah kayak diludahin, ditonjokin. [Pelakunya] sama,” ungkap Idan.
Peristiwa yang kemudian viral itu, kata Idan, terjadi saat pergantian jam pelajaran, di mana guru mata pelajaran berikutnya belum hadir.
“Gurunya harus ada, jangan jamkos (jam kosong) kayak kemarin, kan bisa terjadi bullying,” cetus remaja 15 tahun itu.
Ditangani pihak berwajib
Wakil Kepala Sekolah urusan Kesiswaan SMP Plus Baiturrahman, M. Sainan membenarkan aksi perundungan itu terjadi saat guru tidak ada di kelas.
“Saat pergantian pelajaran, dari pelajaran PJOK [Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan] ke pelajaran PAI [Pendidikan Agama Islam]. Di sela-sela pergantian jam itu, di kelas mereka melakukan challenge (tantangan),” ujar Sainan.
Sekolah, kata Sainan, berupaya menyelesaikan kasus perundungan itu pada keesokan harinya, setelah keluarga dari kedua siswa bertemu. Namun video perundungan yang terlanjur viral mendorong kasusnya ditangani pihak berwajib.
Sumber gambar, Getty Images
Ayah Idan, Yudarmi Bagindo Sulaiman, menyebut peristiwa yang dialami anaknya adalah kriminal, meski pelaku berdalih perbuatannya sebatas bercanda.
Motif itulah yang mendorong Yudarmi melaporkan kasusnya ke polisi. Akan tetapi, setelah dilakukan mediasi dengan keluarga pelaku yang difasilitasi polisi, Yudarmi memutuskan menarik berkas pelaporan.
“Ya, saya anggap ini bercanda saja. Alhamdulillah, kepala anak saya enggak apa-apa, setelah di-CT scan dan rontgen. Makanya, saya mengambil hati nurani saja karena mengingat pelaku anak yatim. Saya ambil jalan tengah, saya tarik berkasnya. Berakhir damai saja.
“Dari hati yang paling dalam, kasihan juga, walaupun saya juga kasihan sama anak saya,” tutur Yudarmi melalui sambungan telepon, Selasa (22/11/2022), kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Jalan damai juga diambil mengingat pelaku masih berusia anak dan dalam hitungan bulan akan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama.
Kendati demikian, pihak sekolah memberikan sanksi melarang pelaku datang ke sekolah dan mengikuti pembelajaran secara daring.
“Jadi tidak ada kontak dengan teman-temannya di sekolah. Permintaan dari orang tua [siswa lainnya]. Banyak orang tua yang ketakutan jika si pelaku ini masih bebas di sekolah. Takut [anaknya] jadi korban selanjutnya,” kata Sainan.
Idan sendiri mengaku sudah memaafkan pelaku. Saat menunggu proses BAP di halaman Mapolrestabes Bandung, Idan dan pelaku yang merundungnya tampak duduk berdampingan.
“Sudah baikan, sudah minta maaf, saya memaafkan. Ada penyesalan, [dia] sudah menyesal melakukan ini,” ucap Idan yang mengaku tidak mengalami trauma dan tetap semangat bersekolah.
Survei: Lebih dari 20% ingin bunuh diri karena perundungan
Sumber gambar, Getty Images
Idan bisa saja tidak mengalami trauma, tapi hasil sejumlah riset menunjukkan dampak serius dari perundungan. Tidak hanya mengalami trauma, korban bahkan bisa bunuh diri.
Hasil survei World Health Organization (WHO) melalui Global School-based Student Health (GSHS) pada 2015 melaporkan, 1 dari 20 remaja di Indonesia pernah memiliki keinginan bunuh diri. Dari data itu, sebanyak 20,9% menginginkan bunuh diri karena mengalami perundungan.
Selain itu, perilaku agresif di antara remaja, termasuk kekerasan dan perundungan, memiliki kaitan dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental sepanjang masa kehidupan, fungsi sosial dan hasil belajar yang buruk.
Hasil riset di atas, tidak jauh beda dengan penelitian PISA (Program for International Student Assesment/Program Penilaian Pelajar Internasional) 2018 yang melaporkan perundungan memiliki kaitan dengan kinerja membaca yang lebih rendah.
Korban perundungan takut melapor, SOP dibutuhkan?
Ketika mengalami perundungan, Idan mengaku merasa bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Untuk melapor ke guru, Idan takut.
Meski, Idan mengingat nasihat guru agar melapor jika dirundung temannya. Selama ini, kata Idan, tak satu pun korban perundungan di sekolahnya yang berani melapor.
“Enggak tahu [apa yang harus dilakukan],” kata Idan, menambahkan bahwa sekolahnya telah memberitahu para siswa apa yang harus dilakukan bila menjadi korban perundungan.
”Kalau di-bully itu lapor atau lawan, katanya. Tapi aku nggak berani bilang. Takut. Satu kelas juga takut sama pelaku,” ungkap Idan.
Idan juga tidak pernah mengadu ke orang tuanya bila mengalami perundungan.
“Anak saya enggak pernah ngomong [kalau dirundung]. Waktu kejadian Kamis, dia pulang itu biasa-biasa saja,” sebut ayah Idan, Yudarmi.
Sumber gambar, Getty Images
Meski begitu, Yudarmi menuntut tanggung jawab sekolah “lantaran membiarkan perundungan itu terjadi di lingkungan sekolah, di mana anak masih menjadi tanggung jawab penuh pihak sekolah”.
Yudarmi berharap kejadian yang menimpa anaknya tidak terulang. Ia mengusulkan agar sekolah memiliki standar operasional prosedur (SOP) dalam menangani perundungan.
“Harusnya ada SOP. Kemarin sudah saya kasih tahu ke pihak sekolah. Kalau bisa dipasang CCTV. Walaupun kita di kantor, bisa ketahuan anaknya melakukan apa. Jadi terkontrol anak-anak,” tutur Yudarmi.
Menanggapi hal itu, Sainan mengakui, sekolah belum memiliki SOP khusus perundungan.
Sejauh ini, sekolah baru memberikan edukasi soal perundungan di sela-sela jam pelajaran, di samping menerapkan tata tertib sekolah. Sebetulnya, lanjut Sainan, sanksi terhadap pelaku perundungan sudah ditetapkan.
“Kalau ketahuan [merundung], yang pertama kita panggil anak tersebut. Kita berikan pemahaman, arahan. Itu baru satu kali [pelanggaran]. Ketika masih terjadi lagi, kita lakukan pemanggilan orang tua pelaku.
“Kemudian [pelanggaran] yang ketiga, kita berdiskusi dengan orang tua dan paling pahitnya kita kembalikan ke orangtua. Dengan kata lain, dikeluarkan,” beber Sainan.
Akan tetapi setelah terjadinya kasus perundungan ini, Sainan mulai merasa perlu SOP pencegahan dan penanganan perundungan.
“Untuk ke depan sangat diperlukan SOP karena untuk perbaikan sekolah. Kita takut ke depan terjadi lagi. Kalau sampai terjadi lagi, kita punya SOP yang sudah jelas,” tandas Sainan.
Di lain pihak, Ketua PGRI Kota Bandung, Cucu Saputra menyebutkan, sekolah tidak perlu membuat SOP karena sebetulnya sudah tercantum dalam tata tertib sekolah.
Jangankan perundungan, kata Cucu, murid laki-laki berambut panjang saja mendapat teguran, bila mengacu pada tata tertib.
Cucu berkata, yang dibutuhkan bukan SOP, tapi kanal komunikasi antara murid dengan guru, yang sebetulnya bisa memanfaatkan keberadaan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atau guru Bimbingan dan Konseling (BK).
Dua posisi guru itu bertanggung jawab menyediakan wadah mengadu bagi korban perundungan tanpa rasa takut.
Sayangnya, lanjut Cucu, citra BK selama ini identik dengan tempat menghukum murid nakal.
“Aneh bila di sekolah ada guru BK, tapi sepi, enggak ada yang datang. Kemudian anak-anak curhatnya di luar,” kata Cucu.
“Ini harus jadi pemicu, bagaimana kanal-kanal komunikasi itu terbangun di sekolah, apalagi dalam masa perkembangan anak yang butuh curhat. Bisa jadi dia susah komunikasi dengan orang tua dan guru, maka bangunan komunikasi ini yang harus dilakukan sekolah,” papar Cucu.
Sumber gambar, Getty Images
Tantangan guru untuk bisa menjalin komunikasi dengan siswa.
Kasus perundungan yang terjadi di SMP Plus Baiturrahman, menurut Cucu, sudah semestinya menjadi peringatan bagi guru-guru agar lebih meningkatkan lagi pengawasan terhadap perilaku siswa. Salah satunya dengan menghindari adanya jam kosong.
“Jangan abai terhadap dinamika dan perilaku anak-anak di sekolah yang bisa jadi terjadinya di jam-jam kosong ketika guru berhalangan hadir,” tegasnya.
Meski demikian, Cucu menegaskan, guru bukan seperti petugas pemadam kebakaran yang dituntut memadamkan masalah anak. Mendidik anak bangsa, kata Cucu, adalah tanggung jawab bersama.
“Jangan sampai guru atau sekolah menjadi kambing hitam karena dianggap lalai kurang pengawasan, tapi sebetulnya pendidikan di keluarga longgar, pengawasan orang tua terhadap penggunaan HP longgar, termasuk pengawasan film-film animasi dan siaran-siaran olahraga yang mengandung tindak kekerasan (bebas ditonton).”
Karena anak adalah peniru yang baik, imbuh Cucu.
Komisioner KPAI, Jasra Putra mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebetulnya sudah menerbitkan Permendikbud No. 82 tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Hanya saja, Jasra menilai, permendikbud tersebut belum diterapkan secara baik.
Sejak diterbitkan tujuh tahun lalu, Jasra mengaku belum menemukan sekolah yang sudah membentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan kekerasan yang terdiri dari dewan guru, orang tua siswa atau komite sekolah.
“Sehingga energinya bisa disalurkan ke hal yang positif,” imbuhnya.
Kalaupun ada yang sudah membentuk gugus tugas, ungkap Jasra, petugasnya belum terlatih menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dan tidak memiliki perspektif perlindungan anak.
“Seolah-olah kecenderungan sekolah menutupi kasusnya dan menganggap kejadian itu adalah aib bagi sekolah. Selama ini, sekolah masih tergagap-gagap menghadapi turbulensi yang dihadapi sekolah, dalam hal ini kasus bully,” kata Jasra.
Dalam kasus perundungan ini, menurut Jasra, upaya pencegahan sangat penting guna mengurangi jumlah korban. Salah satunya, sekolah harus mendata tren perundungan di masing-masing kelas.
Kalau perlu, lanjut Jasra, di setiap kelas dibangun praktik atau perilaku positif. Misalnya, menunjuk duta antibullying atau memilih murid yang berperilaku positif setiap minggunya dan diberikan apresiasi berupa sertifikat atau hal menarik lainnya.
“Saya kira ini adalah upaya untuk menumbuhsuburkan budaya positif sehingga tidak ada peluang peluang untuk prilaku-perilaku negatif seperti bully,” kata Jasra.
Sumber gambar, Getty Images
Ancaman kekerasan demi konten
Selain perundungan, ada praktik-praktik kekerasan di kalangan pelajar yang belakangan ini terjadi dan juga mengkhawatirkan, yakni permainan bernuansa kekerasan dan tantangan demi konten.
Jika berkaca pada kasus Idan, perundungan diawali dengan permainan Tes Kagantengan, yang viral di Youtube dan Tiktok. Di media sosial, permainan itu disebut Game Pukul Helm yang diikuti banyak warganet, terutama remaja.
Sumber gambar, Getty Images
Perundungan juga rawan terjadi di dunia maya.
Sebelumnya, telah banyak bermunculan permainan atau tantangan berbahaya yang bisa mengakibatkan korban luka, bahkan kehilangan nyawa. Sebut saja, Skull Breaker Challenge, Skip Challenge, Salt and Ice Challenge.
Di beberapa negara, berbagai tantangan itu menyebabkan sejumlah anak mengalami luka dan meninggal dunia. Saat beberapa tantangan itu sempat viral di Indonesia, sempat timbul kekhawatiran di kalangan orang tua.
Permainan viral yang telah memakan korban jiwa di Indonesia baru-baru ini adalah tantangan mengadang truk.
Berdasarkan penelusuran di internet mulai Juni hingga November 2022, sekira delapan anak remaja tewas tertabrak truk karena melakukan tantangan tersebut.
Mereka rata-rata berusia belasan tahun dan berasal dari sejumlah daerah, antara lain Bandung, Tangerang, Bekasi, dan Jombang. Mirisnya lagi, korban melakukan permainan berbahaya itu dengan motif demi konten.
Menurut Jasra, KPAI mulai menyoroti permainan atau tantangan berbahaya tersebut. Ia mengatakan, permainan itu ketika muncul di internet akan menginspirasi anak-anak untuk mencoba tanpa memikirkan risikonya, terlebih jika ada keinginan viral di media sosial, tidak peduli hal itu melanggar hukum atau membahayakan dirinya.
“Oleh sebab itu harus menjadi kewaspadaan kita, terutama orang tua untuk memastikan anaknya dalam situasi aman dan nyaman,” tegas Jasra.
Bagaimana caranya? “Bangun dialog dengan anak, berteman dengan anak di media sosial, termasuk di grup-grup percakapan,” kata Jasra.
Dengan cara itu, Jasra berpendapat, orang tua atau guru bisa mengetahui rencana-rencana anak yang perlu kewaspadaan sehingga upaya pencegahan bisa dilakukan.
“Upaya pencegahan ini perlu berlapis. Di samping orang tua, masyarakat dan netizen harus ikut melakukan pengawasan dan mengingatkan,” ujar Jasra.
KPAI, kata Jasra, telah meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menurunkan konten-konten yang dianggap berbahaya dan berisiko ditiru anak.
Kenapa perundungan terus terjadi?
Riset PISA tersebut menemukan data 41% pelajar berusia 15 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan.
Dalam survei lain oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2018, ditemukan bahwa dua dari tiga anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka.
Sebelumnya, data nasional mengenai perundungan di sekolah dari Global School Health Survey (GSHS) 2015 menyatakan 21% anak-anak usia 13-15 tahun atau sama dengan 18 juta anak mengalami perundungan dalam satu bulan terakhir.
Sementara, 25% dilaporkan terlibat dalam pertengkaran fisik satu tahun terakhir, yang secara signifikan lebih tinggi bagi laki-laki yaitu 36% daripada perempuan yaitu 13%.
Data tersebut menjadi pijakan pemerintah melakukan aksi setop perundungan. Pada 2016, KPPPA dengan dukungan UNICEF dan Yayasan Nusantara Sejati, meluncurkan program Disiplin Positif.
Program ini menargetkan kepala sekolah, guru, dan komite sekolah untuk dilatih mengajarkan disiplin kepada murid tanpa menggunakan unsur kekerasan fisik maupun verbal.
Sumber gambar, Getty Images
Masih dengan dukungan Unicef, KPPA meluncurkan Roots Indonesia – program pencegahan perundungan dan kekerasan berbasis sekolah – di 2016. Kali ini, sasarannya adalah pelajar SMP dengan tujuan menciptakan agen-agen perubahan yang dipilih oleh sesama siswa.
Pada sekolah-sekolah percontohan di Sulawesi Selatan, KPPA mengungkap rata-rata perilaku perundungan menurun hingga 29% dan viktimisasi menurun hingga 20%.
Di tahun 2021, Kemendikbudristek menerapkan Roots Indonesia ke lebih dari 1.800 SMP dan SMA Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan.
Tiga tahun sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar roadshow bersama sejumlah artis muda ke sekolah-sekolah di berbagai daerah untuk mengkampanyekan Setop Bullying.
Namun meski telah banyak program dilakukan, faktanya kasus perundungan masih saja terjadi.
Di 2021, KPAI mencatat terjadi 53 kasus anak korban perundungan di lingkungan sekolah dan 168 kasus perundungan di dunia maya.
Sedangkan dari Januari hingga Oktober 2022, kasus perundungan di sekolah meningkat menjadi 81 kasus. Sebaliknya, kasus perundungan di dunia maya menurun menjadi 18 kasus.
Komisioner KPAI, Jasra Putra mengatakan, kasus perundungan terus terjadi di lingkungan sekolah disebabkan pihak terkait belum serius dalam upaya pencegahan. Padahal, lanjut Jasra, aksi perundungan sudah banyak memakan korban.
”Rata-rata pendidik, tenaga kependidikan, dan termasuk orang tua mengetahui perundungan setelah terjadi peristiwanya. Padahal jika dilakukan upaya deteksi dini dengan cara memperkuat tri pusat pendidikan, yakni sekolah, orang tua dan masyarakat, maka kasus tersebut bisa diantisipasi lebih awal,” ujar Jasra saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (24/11).
Upaya lain yang bisa dilakukan, lanjut Jasra, dengan menerapkan kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA). Menurutnya, kebijakan tersebut mampu mencegah terjadinya perundungan.
“Pendidik, tenaga pendidik, orangtua, dan siswa bekerja sama dalam melakukan deteksi dini dan mengenali jenis dan ciri-ciri perundungan, serta langkah-langkah antisipasi masing-masing pihak dalam menyelesaikan bila terjadi kasusnya. Jadi dibutuhkan gerakan dan program yang masif dan kolaborasi para pihak untuk melakukan Setop Bullying,” tegas Jasra.
Wartawan di Bandung, Jawa Barat, Yuli Saputra, berkontribusi untuk laporan ini.