Hilman HandoniPodcast Flora Carita BBC Indonesia

sumber gambar, BBC Indonesia
Nasi sudah menguning. Indonesia sendiri memiliki kekayaan beras yang kaya. Tanaman itu disebut “padi”, bulir yang dipanen disebut “gandum” jika kulitnya sudah dikupas atau dedaknya disebut “nasi”, yang terakhir jika direbus disebut “nasi”.
Beras adalah makanan pokok lebih dari tiga setengah miliar orang, termasuk lebih dari dua ratus juta orang Indonesia. Namun bagaimana dengan sejarah beras dari zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini? Cerita lengkapnya bisa dilihat di acara terbaru BBC Indonesia, Flora Carita.
Di berbagai daerah nusantara, padi diwujudkan sebagai dewi suci, salah satunya adalah Dewi Sri – Ibu Kehidupan.
“Sri berasal dari bahasa Sansekerta dan berarti kekayaan, kesuburan. Dan dia adalah istri Dewa Wisnu. Di patung yang ditemukan di Jawa, dia memegang batang padi di satu tangan,” kata Titi Surti Nastiti, seorang arkeolog di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Asal usul beras, apakah dari India atau Cina, dan bagaimana beras itu ditanam masih menjadi perdebatan.
Cerita lengkap tentang padi dan bagaimana tanaman ini menandai naik turunnya suatu era dalam program Flora Carita melalui tautan ini.
Anda juga dapat mendengarkan podcast Flora Carita melalui Spotify dan Apple Podcasts dan platform podcast lain pilihan Anda.
Dengarkan juga episode lain tentang tanaman yang berbeda
Namun padi tumbuh subur di nusantara, terutama di Jawa berkat kondisi iklim dan lokasi geografisnya. Matahari dan hujan tersedia hampir sepanjang tahun.
Sungai membawa kesuburan dari hulu ke hilir. Deretan gunung berapi menyediakan abu vulkanik yang mengakumulasi nutrisi untuk semua tanaman, termasuk padi.
Padi ditanam di Nusantara sekitar 1500 tahun yang lalu. Dia memaksakan kehadiran masyarakat yang kompleks.
sumber gambar, Hilman Handoni
Titi Surti Nastiti, arkeolog di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
“Saat menanam padi, apalagi negaranya besar, orang lain perlu membantu menanam padi. Juga waktu panen. Ini juga tidak mungkin dilakukan oleh seseorang,” kata Titi.
Kemudian muncul struktur organisasi, kata Titi. “Ada petugas yang disebut huler atau hulu agar airnya terdistribusi dengan baik, ada weras hulu, aparat desa yang mengurus beras. Ada juga pejabat yang mengurus hari tanam yang baik, pejabat yang mengelola gudang beras, dll.”
Mungkin dari situlah tradisi gotong royong, semangat gotong royong.
Tulang punggung kerajaan Jawa
sumber gambar, Gambar Getty
Candi Sambisari di Kalasan, Yogyakarta. Kerajaan Mataram kuno menggunakan beras sebagai strategi untuk memperluas wilayahnya.
Sangat penting bahwa nasi di dalam nasi hadir dalam setiap ritus kehidupan yang disebut Slametan. Mulai dari upacara kehamilan hingga kematian.
Nasi kuning atau nasi tumpeng – yang melambangkan pegunungan yang menjadi sumber kesuburan tanah Jawa – juga disajikan.
Makanan ringan berbasis nasi seperti Diamonds dan Dodol telah ada selama ribuan tahun.
Padi juga dikaitkan dengan mitos dewi Sri. Dia harus diperlakukan dengan baik dan hati-hati.
sumber gambar, Hilman Handoni
Sejarawan Fadly Rahman dari Universitas Padjadjaran telah banyak menulis tentang sejarah kuliner Indonesia.
Padi segera menjadi tulang punggung kerajaan-kerajaan di Jawa.
Titi berkata: “Kami mengekspor beras Kamu tahu pada abad kedelapan. Dikatakan dari berita asing pada abad keempat belas hingga keenam belas pada zaman Majapahit bahwa Portugis mengekspor lima jenis beras.”
Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung Fadly Rahman mengatakan bahwa beras tidak bisa dipisahkan dari politik dan kekuasaan.
“Saat Ki Ageng membuka wilayah Pamanahan Mataram di Mentaok atau sekarang Kotagede, awalnya kawasan hutan. Kemudian dibersihkan dan dibersihkan. Kemudian budidaya padi dikembangkan di sana. Itu benar,” jelasnya.
Di masa lalu, lanjutnya, kharisma seorang penguasa ditentukan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Di bawah raja terbesarnya, Sultan Agung, Mataram memperluas wilayahnya hingga hampir menyatukan pulau Jawa. Beras juga termasuk dalam ekspansi ini.
“Strategi isolasi perang yang dilakukan Mataram terhadap saingannya adalah mengisolasi makanan sehingga musuh kelaparan.”
Keinginan untuk swasembada berakhir dengan kesengsaraan
Mataram sebagai kerajaan agraris terbagi menjadi beberapa kerajaan termasuk Kesultanan Yogyakarta yang keratonnya tidak jauh dari Kota Gede saat ini.
Beberapa peninggalan Mataram bertahan. Termasuk semangat menanam padi sebanyak-banyaknya
“Konon yang dilakukan Soeharto terinspirasi dari kekuasaan Mataram. Bagaimana kebijakan pola makan beras-sentris dianut dalam kekuasaannya?” kata Fadly Rahman.
sumber gambar, Hilman Handoni
Traktor dan rumah di tengah sawah di Cikarang, Jawa Barat.
Presiden Suharto memiliki ambisi untuk mencapai swasembada beras. Dan semangat zaman yang dilanda “Revolusi Hijau” juga berbicara untuk kebetulan ini.
Revolusi Hijau tentunya memiliki maksud yang baik, yaitu untuk memuaskan rasa lapar dan kebutuhan penduduk dunia yang terus bertambah.
Kus Sri Antoro, peneliti Forum Masyarakat Agraria, mendefinisikan Revolusi Hijau sebagai paket intensifikasi pertanian di mana suatu lahan dapat berproduksi di luar kapasitasnya.
Dengan konsumsi pupuk kimia, pestisida, dengan irigasi, maka benih unggul dan kredit.
“Pestisida ini tidak hanya membunuh hama tetapi juga membunuh predator alami hama seperti capung dan laba-laba sehingga mengganggu ekosistem. Bahannya juga mencemari air tanah, membunuh bakteri dan makhluk hidup lainnya, termasuk manusia,” kata Kus.
Tanah yang dibanjiri pupuk kimia dan benih canggih berkuasa, menghilangkan varietas lokal yang tidak terlalu produktif.
Semangat dan pendekatan Revolusi Hijau membawa Indonesia menjadi swasembada beras pada tahun 1984. Tahun berikutnya, Indonesia menerima penghargaan dari FAO World Food Agency.
Namun tiga tahun kemudian, Indonesia kembali membuka keran impor.
Pertempuran untuk makanan dan papan
sumber gambar, Hilman Handoni
Pemandangan ke sudut Yogyakarta. Banyak kota di Jawa menghadapi masalah serupa: sawah bersaing untuk perumahan atau industri pariwisata.
Pertanian modern tidak lagi sepenuhnya mendikte penanaman padi oleh alam dan ketersediaan tenaga kerja.
Penggunaan alat-alat tradisional seperti ani-ani atau mortar yang memakan banyak tenaga, tidak efisien dan dapat digantikan dengan traktor dan mesin giling.
Dengan kata lain, pertanian modern tidak membutuhkan banyak interaksi manusia. Tak heran jika tradisi Gotong Royong atau Panen semakin melemah.
Upacara-upacara atau sesajen khusus juga semakin menghilang atau setidaknya semakin berkurang, demikian pula luas lahan atau berbagai benih lokal yang tumbuh lambat dan akhirnya terpinggirkan.
Sawah muncul di antara pabrik dan pemukiman di Cikarang, kota industri terbesar di Asia Tenggara, ibu kota Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tidak jauh dari ibu kota Jakarta.
Di kedua sisi jalan, papan reklame bersaing untuk mendapatkan perhatian dan mengiklankan ruang hidup yang baru dibuat.
“Setiap tahun luas pertanian di Bekasi menyusut. Karena banyak penggunaan lahan yang berubah. Penggunaan lahan juga menyusut tajam. Pada 2014, seluas 51 ribu hektar. Hanya 42.000 hektar yang tersisa pada 2018,” kata Wawan, wakil ketua Gabungan Petani Indonesia Kabupaten Bekasi.
sumber gambar, Hilman Handoni
Abah Kombara dan sawahnya. Menjadi perangkat desa menambah uang keluarga, namun beras tetap menjadi andalan.
Abah Kombara, Ketua Kelompok Tani Sri Asih II, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya, Bekasi, tetap bersikukuh menggarap lahan, meski terkadang airnya keruh dan berbau limbah dan solar dari pabrik yang tidak jauh dari desanya.
“Disini ada 427 hektar, satu desa. Zona hijau. Zona Hijau tidak bisa perumahan, hanya pertanian,” kata Abah.
Desa tetangga tidak seberuntung itu: “Di sana [yang berubah],” Dia berkata. “[Desa] Sukajadi, tetangga kami. Ini perumahan.”
Sawah akhirnya harus memberi jalan kepada pabrik-pabrik lokal. Di jalanan atau perempatan yang penuh dengan billboard berebut perhatian. menyediakan rumah bagi mereka yang membutuhkan.
“Ada sekolah pertanian di Bekasi. Sekolah kejuruan pertanian swasta. Yang sekolahnya bukan orang Bekasi. Dari luar. Suatu hari akan berubah. contoh Jadi Suka petani. Nama itu hanya menjadi legenda. Akan ada patung. Tapi tidak ada sawah,” pungkas Wawan.
Tahukah Anda bahwa di Jakarta pada tahun 1980-an, nasi kuning dicampur uang tunai dibagikan pada upacara pernikahan atau kematian? Untuk informasi lebih lanjut, lihat acara Flora Carita Episode 2: Nasi (Bagian 1) di tautan ini, Spotify atau Apple Podcast.