- Penulis, Hilman Handoni
- Peran, BBC Indonesia Flora Carita Podcast
-

sumber gambar, Gambar Getty
Detail pedasnya bisa ditemukan di kedai mie rebus sederhana hingga restoran termewah. Mungkin tidak sebanyak itu. Namun saat itu ia dijuluki The Spice King.
Ketika kota Roma disandera pada abad kelima, Alaric, raja Visigoth, menuntut barang-barang tak ternilai untuk tebusan. Lada ada di daftar permintaan tebusan.
Lada telah digunakan dalam resep dan persiapan obat selama lebih dari 4.000 tahun. Bangsa Romawi memperdagangkan lada dengan harga yang sangat tinggi.
Setelah kejatuhan Roma, bangsa Arab muncul sebagai pemasok utama. Pada Abad Pertengahan, harga lada sepuluh kali lipat dari rempah-rempah lainnya.
Di hampir setiap kota besar di Eropa pada abad itu pasti ada sebuah jalan yang diberi nama bernuansa ‘lada’. Apakah Pepper Alley, Pepper Gate atau Rue du Poivre.
Kemakmuran kota-kota pelabuhan seperti Genoa atau Venesia berutang budi pada lada.
Lada – bersama rempah-rempah lainnya, tentunya – adalah simbol kebangsawanan. Hanya para bangsawan yang bisa melapisi daging yang sebelumnya hanya terasa asin itu dengan merica.
Podcast Flora Carita juga bisa kamu dengarkan via Spotify dan Podcast apelserta platform podcast lain pilihan Anda.
Dengarkan juga episode lainnya yang membahas tentang tanaman yang berbeda
Lada, bersama rempah-rempah lainnya, juga mendorong ribuan kapal besar Portugis berangkat mencari benua baru untuk menghindari monopoli pedagang Arab.
Perdagangan jarak jauh, mengikuti angin musim Hal ini akhirnya menyebabkan kepulauan yang sebelumnya aktif secara ekonomi itu melakukan kerusuhan dengan berbagai kesultanan di pantainya.
Salah satunya, Kesultanan Banten.
sumber gambar, Koleksi Rijksmuseum
Sebuah etsa yang menggambarkan Banten pada masa kejayaannya di abad ke-17. Etsa oleh Romeyn de Hooghe.
Cita rasa dari ujung barat Jawa
“Banten sukses berkembang karena ada komoditas yang diperdagangkan. Apa itu? Ini merica!” kata Heriyaanti Ongkodharma, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Sejak tahun 1970-an ia juga menjadi peneliti arkeologi dan penulis dua buku referensi tentang Banten, salah satunya berjudul Kapitalisme pribumi awal Kesultanan Banten.
“Saya juga melihat perkembangan pembangunan istana dan lain-lain saat itu. Padahal, pada masa Sultan Agung, Keraton Tirtayasa sudah dibangun. Ekspedisi ke luar negeri adalah hal biasa pada saat itu. Dari mana asal uang itu jika bukan dari Pfeffer?”
sumber gambar, Hilman Handoni
Kompleks keraton Banten dilengkapi dengan instalasi pengolahan air yang sisa-sisanya masih dapat dilihat hingga saat ini. Banten juga membangun infrastruktur air untuk pertanian, termasuk istana dan tempat hiburan para sultan.
Lada aslinya berasal dari India. Sepintas, tanaman rambat ini tampak seperti pohon sirih. Biji-bijiannya pedas dan diperdagangkan ke Mesir setidaknya 4.000 tahun yang lalu.
Epik Mahabharata mendokumentasikan penggunaan lada dalam hidangan daging.
Dari India, lada menyebar ke seluruh nusantara dan dibudidayakan jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten.
Pada awal abad ke-16, kerajaan Sunda berjanji akan memberikan karung merica kepada Portugis jika mau membantu raja menghadapi kekuasaan Demak.
sumber gambar, Hilman Handoni
Peninggalan Masjid Pacinan Tinggi. Masjid ini dibangun di tengah kawasan Pecinan yang dibangun oleh Sultan. Kota Banten dibangun dengan tradisi multikultural. Pedagang Eropa dari Portugal, Belanda, Denmark, Inggris terlibat dalam bisnis. Sultan juga menjadikan orang-orang cerdas dari Cina, Benggala sebagai mitra.
“Eksploitasi budidaya lada sudah berkembang pesat, sehingga hasil panen lada selalu bisa dijual ke luar. Ribuan ton,” kata Heryanti.
Berkat lada, Banten mampu membentengi kota-kotanya. Kawasan industri – misalnya pandai besi, tembikar, bengkel – ditempatkan secara terarah. Jalan aspal.
Banten juga dilengkapi dengan pasar internasional dengan pelabuhan Karangantu sebagai pintu gerbangnya.
“Banten sangat kompleks di masa jayanya. Dan orang Belanda sendiri juga menyebut kalau kita keliling kota Banten sama seperti Amsterdam,” pungkas Heriyaanti.
sumber gambar, Hilman Handoni
Masjid Raya Banten sekarang.
Saat ini, kabupaten Banten Lama yang pernah berkembang sebagai kota kosmopolitan hanya menyisakan sekelumit kemegahannya.
Keraton sudah tidak utuh lagi, kanal-kanal menyempit atau menghilang.
Hanya masjid yang sepertinya tidak pernah kehilangan daya tarik yang menarik jemaah.
Tanam lada setelah Lampung
sumber gambar, Hilman Handoni
Heriyaanti Ongkodharma, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Lada juga mendesak Banten mengembangkan agresi ke daerah tetangga. Lampung, salah satunya.
“Lampung adalah bagian di bawah Banten yang harus membuang lada. Bahkan ada prasasti yang disebut Prasasti Olahraga. Di prasasti itu disebutkan bahwa setiap anak yang berusia 18 tahun wajib menanam cabai,” kata Heriyaanti.
sumber gambar, Hilman Handoni
Otih Rostiana, peneliti Badan Pengkajian Rempah dan Obat Kementerian Pertanian.
Selama berabad-abad, Lampung telah bekerja tanpa lelah untuk menjadi penghasil lada terpenting di nusantara, bersama dengan Bangka Belitung – yang saat itu merupakan provinsi di Sumatera Selatan.
Lada lampung lada (yang khas) rasa kulitnya. Kulitnya (lada hitam lampung) memiliki minyak atsiri paling tinggi. Dari situ memberikan rasa pedas dan bertahan lama di mulut, kata Otih Rostiana.
Otih adalah seorang peneliti di Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Departemen Pertanian dan telah menghabiskan lebih dari lima belas tahun meneliti dan bekerja sama dengan petani lada.
sumber gambar, Gambar Getty
Sederhananya, lada dapat dibagi menjadi dua bagian: hitam dan putih. Keduanya berasal dari buah yang sama.
Lada hitam diperoleh dari lada utuh yang dikeringkan bersama kulitnya. Yang putih terbuat dari paprika yang direndam lalu dikupas.
Di Indonesia, lada tumbuh dengan mudah di dataran rendah hingga dataran menengah.
“Karena dulu diperdagangkan lewat laut, ya ditanam di dataran rendah. Jadi kita akan bertemu [lada] tercatat di Jawa Barat di dataran rendah wilayah Banten. Terdaftar di Lampung, Bangka, Kalimantan.”
Keberagaman karakter di tempat ini, kata Otih, juga memberikan cita rasa pada lada.
“Rasa lada Bangka. Hanya berpegangan tangan… baunya enak!”
Tapi sekarang kebun lada sudah berubah. Lebih dari sepertiga lada dunia kini berasal dari Vietnam.
Indonesia? Hanya bisa menghasilkan kurang dari setengah!
Provinsi Lampung masih akan memproduksi hampir 15.000 ton pada tahun 2021. Namun produksi itu jauh tertinggal, lebih dari dua kali lipat dari Bangka Belitung yang menghasilkan hampir 35.000 ton.
Masih kaya karena lada
Daroji masih gigih membudidayakan lada. Sudah 30 tahun ia menanam cabai di sebuah kebun di Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Daerah ini bisa menjadi salah satu garis pertahanan terakhir bagi Pepper yang luas daratannya semakin menyusut.
sumber gambar, Hilman Handoni
Daroji, petani lada di Kabupaten Tenggamu, Lampung.
Jika tidak ada penyakit dan hama, tajar – pohon hidup ini sengaja ditanam untuk tanaman lada setinggi delapan meter – menghasilkan lada kering hingga tiga kilogram.
“Lada sebenarnya menguntungkan. Apalagi kalau harganya seperti sekarang, Rp 50-100.000. Bohong kalau petani tidak sejahtera,” kata Daroji.
Berkat lada, adik-adik Daroji bisa kuliah. Setiap kali panen, dia menyimpan tabungannya sebagai deposito.
“Kemarin [orang] dari dinas, bawa orang dari bank, saya malu. Petani lada dimintai kredit. Sepuluh, dua puluh juta. Memalukan untukku. ketika kita kembali [ketika lada berjaya]”Kami memainkan deposit,” katanya bercanda.
“Sekitar 15 tahun yang lalu saya mulai membusuk di pangkal batang. Kematian kayak jadi… kuning,” katanya letih.
Tanaman merambat lada bisa bertahan 25-30 tahun. Tapi di sini, serangan hama dan penyakit membuat usia produktif berkurang drastis: rata-rata hanya tiga tahun. Setelah itu menjadi kuning dan mati.
“Tidak bertugas [pertanian] seringkali [memperkenalkan] Teknologi. Tapi belum ada hasilnya,” kata Daroji.
“Lampung Utara sudah siap. Berapa persen yang tersisa di Kota Bumi, Lampung Tengah? hamparan [lada] Mereka hanya tinggal di Distrik Air Naningan.
“Saya cemas [ini semua] tetap sejarah. Semuanya dulu lada. Sudah berakhir sekarang,” Daroji menyimpulkan.