
sumber gambar, ANTARA FOTO
Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menunggu kedatangan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10/2022).️
Presiden Jokowi mengimbau kepada seluruh jajaran Polri untuk menghentikan praktik pungutan liar atau pemerasan terhadap Kapolda dalam pertemuan dengan pejabat tinggi.
Hal ini menyusul turunnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Pengamat Polri Bambang Rukmino mengatakan pemerasan merupakan masalah kronis, sehingga pelaku perlu diberikan sanksi tegas berupa pemecatan agar memberikan efek jera.
Menanggapi hal itu, Kapolri Listyo Sigit berjanji akan menindak anggotanya yang melanggar hukum.
Survei Indikator Politik Indonesia Agustus lalu menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri turun tajam, turun 54,2% dari sebelumnya 71,6% pada April 2022.
Pemicunya adalah kasus dugaan pembunuhan berencana Brigjen Nofriansyah Yosua oleh mantan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Catatan itu disampaikan Presiden Jokowi saat rapat akbar dengan jajaran Polri, yang dimulai dari para Kapolri di Mabes dan diakhiri dengan Kapolri di Istana Negara, Jumat (14/10).
Selain kasus Ferdy Sambo, Jokowi menyebut setidaknya ada empat hal yang dikeluhkan masyarakat terkait lembaga tersebut. Yang utama adalah pajak ilegal atau pun pemerasan.
“29,7% pengaduan masyarakat terhadap polisi bersumber dari pemerasan. Harap semua orang bisu. Karena Anda adalah petugas yang paling dekat dengan masyarakat dan paling banyak berinteraksi. Anggota diingatkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan,” kata Presiden Jokowi dengan tegas.
“Kedua tindakan sewenang-wenang juga ditundukkan, pendekatan represif dihindari dan gaya hidup dibuat mewah.”
Pemerasan terjadi di semua aspek pelayanan kepolisian
Kombes Polri Albertus Wahyurudhanto mengatakan, pungutan liar terjadi hampir di seluruh jajaran kepolisian. Mulai dari pembuatan dan administrasi dokumen kendaraan hingga penyidikan tindak pidana.
Padahal, semua fungsi utama kepolisian dibiayai oleh negara. Namun, mereka sering digunakan untuk mengumpulkan uang dari masyarakat.
Pada 2016, pemerintah juga membentuk Satgas Saber Pungli yang terdiri dari Polri, Kejaksaan dan sejumlah kementerian untuk membasmi praktik pungli yang dilakukan pejabat negara dan aparat penegak hukum.
sumber gambar, ANTARA FOTO
ilustrasi foto. Kombes Polri Albertus Wahyurudhanto mengatakan, pungutan liar terjadi hampir di seluruh jajaran kepolisian.
Sayangnya, menurut Albertus, satgas ini tidak efektif.
“Karena organisasinya terlalu besar. Kalau satgas ini mau efektif, tim itu independen dan tidak terikat secara struktural dengan lembaga yang dibina,” ujarnya.
Apa yang mendorong polisi untuk memeras?
Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan pemerasan merupakan masalah “kronis” di institusi Polri yang “sulit diberantas”.
Alasannya bukan gaji yang rendah. Seingatnya, pada 2019 pemerintah menaikkan gaji dan tunjangan anggota Polri hingga 70%.
“Kesejahteraan anggota polisi sekarang sudah baik. Kompensasinya naik 100%,” imbuhnya kepada BBC News Indonesia, Minggu (16/10).
Bambang melihat akar permasalahannya terletak pada gaya hidup mewah para petinggi polisi yang ditiru bawahannya dengan “memperoleh figuran secara ilegal”.
Di sisi lain, pengawasan internal Polri tidak berjalan dan sanksi yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera.
“Polisi diancam dengan penurunan pangkat maksimal satu tahun. Kemudian mereka dipromosikan lagi. Jadi mereka akan mengulangi (praktik pemerasan). Penurunan pangkat tidak ada pengaruhnya,” katanya.
Hukuman yang paling efektif untuknya adalah Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH). Sanksi berat dianggap sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
“Tidak ada lagi sanksi etik. Aparat penegak hukum, kalau dilanggar, tidak sesuai, cacat moral. Kalau ada mutasi atau penurunan pangkat, tidak ada tanggung jawab. Moral mereka juga rendah.”
Selain itu, Presiden Jokowi juga diminta untuk mengambil tindakan nyata jika ingin menghentikan praktik pemerasan. Misalnya dengan memperkuat pengawas eksternal seperti Kompolnas dalam hal kewenangan.
sumber gambar, ANTARA FOTO
Sejumlah petinggi Polri tiba untuk melaksanakan salat Jumat sebelum menuju Istana Negara di Jakarta, Jumat (14/10/2022).
“Melalui Perppu atau Perpres, Kompolnas dapat diperkuat dengan memberikan rekomendasi kepada Kapolri untuk memberikan sanksi jika ada oknum polisi yang melanggarnya.”
“Tanpa tindakan konkrit, pertemuan di keraton hanya seremonial.”
Korban pemerasan polisi: Ketika Anda berada di kepolisian, itu akan menjadi tentang uang pada akhirnya
Salah satu korban pemerasan, Damar, mengaku malas bernegosiasi dengan polisi karena kakaknya diminta memberikan uang Rp 15 juta agar mobil yang menjadi bukti pencurian dikembalikan.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2017. Salah satu mobil sewaan saudaranya dicuri oleh seorang penyewa.
Delapan bulan kemudian, seorang petugas polisi menelepon dan mengatakan bahwa mobil yang dicuri telah ditemukan.
“Entah bagaimana ceritanya, pembeli mobil curian itu melanggar lalu lintas dan ditangkap di jalan tol. Diduga plat nomor palsu, STNK akhirnya dibawa ke kantor polisi dan menjadi barang bukti.”
“Data dari pihak leasing ke polisi, mobil atas nama kakak saya.”
Di kantor polisi, dia dan saudara laki-lakinya diberitahu bahwa mereka harus membayar “biaya administrasi” sebesar 15 juta rupee jika mereka menginginkan mobil itu kembali. Mendengar besarnya, Damar kaget karena tidak menyangka korban yang dirugikan harus membayar.
Pertama, saudara tersebut bernegosiasi dengan alasan bahwa ia tidak memiliki cukup uang untuk menurunkan biaya pengelolaan.
“Saat ditanya polisi berapa uangnya? Kakak saya bilang cuma Rp 3 juta. Polisi tidak mau karena roda mobilnya diganti balap. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan kami,” kata angka Anda 5 juta rupee untuk mengganti roda.”
Khawatir semakin lama di kantor polisi, mobilnya dibongkar, kata Damar, kakaknya memutuskan mengikuti permintaan polisi.
Sebanyak Rp8 juta diberikan secara tunai.
“Dia (polisi) ingin uang tunai, dia tidak mau diserahkan. Saya yakin itu tidak resmi. Sejak itu, kami pikir polisi akhirnya mendapatkan uang.”
sumber gambar, ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan Menko Polhukam Mahfud MD (kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sebelum melakukan pengarahan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10/2022). . .
Korban lain yang enggan disebutkan namanya mengaku merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah agar polisi bisa segera mengeluarkan surat kehilangan setelah maling masuk ke rumahnya pada 2016.
“Kodenya polisi, ‘Kalau mau buru-buru, ya sama saya. Serahkan saja…'” tambahnya.
“Saya butuh surat kehilangan untuk mengurus KTP dan kebutuhan pribadi yang hilang.”
Saat mengadu ke polisi, dia berharap polisi mengejar pelaku, meski tidak terlalu berharap barang-barangnya dikembalikan utuh.
Namun yang terjadi, belum ada kabar dari pihak kepolisian sejak kejadian tersebut.
“Setelah itu tidak ada apa-apa. Karena saya tidak punya tekanan untuk memaksa polisi menyelidiki pengaduan saya.”
Bagaimana reaksi polisi?
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji akan menjalankan perintah Presiden Jokowi terkait praktik pungutan liar atau pungli dengan menindak anggota yang terbukti melanggar hukum.
Selain itu, dia juga mengatakan akan “berjuang” untuk melakukan apa yang menjadi tugas utama polisi sebagai pengayom, pengayom, dan petugas.
“Menanggapi apa yang dikeluhkan masyarakat,” kata Kapolri Listyo Sigit dalam konferensi pers di Istana, Jumat (14/10).
“Kita semua sepakat bahwa hal-hal yang dapat mengurangi kepercayaan publik seputar gaya hidup dan pelanggaran tentu akan menjadi arahan Presiden, yang akan diikuti tindakan tegas.”
“Termasuk pemberantasan judi online, narkoba, dan pemberantasan hal-hal yang sudah pasti meresahkan masyarakat.”