
sumber gambar, ANTARA FOTO
Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah disetujui Komisi III DPR dan pemerintah tingkat pertama.
Rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RUU KUHP) akan segera disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (6/12), meski masih ada tentangan dari kelompok masyarakat sipil atas beberapa “pasal kontroversial”.
Dimulai dengan pasal hidup berdampingan, kontrasepsi, demonstrasi dan menghina Presiden.
Wakil Juru Bicara DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui draf final RKUHP tidak bisa memuaskan semua pihak.
Sehingga jika ternyata masih ada kontradiksi, dia mengimbau masyarakat untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Lantas apa bahayanya jika pasal-pasal ini diberlakukan?
1. Artikel tentang Kontrasepsi
Ketentuan yang melarang orang menawarkan atau memperlihatkan alat kontrasepsi atau KB “kepada anak” tercantum dalam Pasal 408-410. Pelanggar terancam denda Rp 1 juta.
Orang tanpa hak yang secara terang-terangan menampilkan atau menawarkan untuk membatalkan konten baik secara tertulis maupun langsung akan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda Rp 10 juta.
Dikecualikan dari penerapan pidana ini adalah orang-orang yang berwenang dalam rangka keluarga berencana, pencegahan penyakit menular atau untuk kepentingan penerangan/nasihat. Ini termasuk sukarelawan yang dianggap kompeten.
sumber gambar, Gambar Getty
Survey yang dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan USAID, Departemen Kesehatan dan BKKBN menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja sering membicarakan masalah ini dengan teman-temannya.
Namun, pasal ini sebenarnya berbahaya karena berpotensi mengurangi dampak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah, kata pendiri CISDI Amru Sebayang dalam siaran pers BBC News Indonesia.
Survei yang dilakukan BPS bersama USAID, Depkes dan BKKBN menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja lebih sering mendiskusikan masalah ini dengan teman mereka daripada dengan petugas kesehatan karena mereka jauh dari stigma dan diskriminasi.
Oleh karena itu, pendekatan informal oleh kelompok sebaya atau masyarakat sipil disebut CISDI “lebih efektif”.
2. Artikel Koeksistensi
Ketentuan kumpul kebo tertuang dalam Pasal 411-413, yang menyebutkan bahwa barang siapa kedapatan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda Rp 10 juta.
Ayat 2 menyatakan bahwa kecuali ada pengaduan dari suami atau istri dari orang yang terikat perkawinan atau orang tua/anaknya terhadap mereka yang tidak terikat perkawinan, perbuatan itu tidak akan dituntut sebelum terikat.
Selain itu, perbuatan yang disebut “perzinaan” atau persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda Rp 10 juta.
sumber gambar, Gambar Getty
Pasangan suami istri yang hidup bersama di luar nikah diancam pidana penjara maksimal enam bulan atau denda Rp 10 juta.
Bagi pengacara HAM dan aktivis perempuan Naila Rizqi, pasal perzinahan tidak memiliki dasar yang jelas karena tidak ada pihak yang menderita akibat hubungan seksual antara dua orang dewasa, “kecuali terjadi kekerasan,” katanya dalam sebuah diskusi, seperti dilansir dari VOA Indonesia. com.
Ia pun menilai pasal tersebut melanggar privasi warga dan membahayakan “kelompok rentan dan miskin” karena menjadi sasaran razia.
3. Demonstrasi barang
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 256: Barang siapa tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada penguasa mengadakan demonstrasi atau demonstrasi di jalan umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum atau gangguan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan dan denda. sebesar Rp akan . 10 juta.
Menurut aktivis demokrasi Muhammad Isnur, pasal ini menunjukkan reaksi balik dalam demokrasi dan “menempatkan kebebasan berekspresi pada posisi yang berisiko karena dipandang sebagai kejahatan”.
Padahal ekspresi publik adalah hak yang dijamin oleh UU No. 9 Tahun 1998.
sumber gambar, ANTARA FOTO
Wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menerbitkan artikel dalam aksi melawan 17 pasal bermasalah dalam RKUHP di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Senin (5/12/2022). .
Banyak pihak yang menentang penggunaan barang ini karena rentan kriminalisasi dan berpotensi menjadi barang karet. Namun tim sosialisasi RKUHP, Albert Aries, berpendapat masyarakat tidak perlu khawatir akan dikriminalisasi selama mengetahui adanya aksi demo tersebut.
Ia juga mengklaim, meski pasal demonstrasi dimasukkan, pemerintah tetap menghormati kebebasan berekspresi sebagai hak konstitusional.
4. Pasal yang menghina Presiden, pemerintah, lambang negara
Kejahatan yang menyerang Presiden dan/atau Wakil Presiden dari Pemerintah atau lembaga Negara tercantum dalam Pasal 217-240.
Pasal 217 menyatakan: Barangsiapa menyerang Presiden dan/atau Wakil Presiden sendiri, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Kemudian Pasal 218: Barang siapa di depan umum menyerang kehormatan atau martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Perbuatan penyerangan tersebut dijelaskan lebih rinci dalam Pasal 219 yang berbunyi: Barangsiapa menyiarkan, memperlihatkan atau menempelkan tulisan atau gambar atau menyiarkannya di muka umum dengan sarana teknologi informasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Menghina pemerintah atau lambang negara berdasarkan Pasal 240(1) diancam dengan hukuman maksimal 1,6 tahun penjara dan denda Rp 10 juta.
Jika terjadi tindak pidana yang menimbulkan keresahan di masyarakat, Anda dapat dipidana dengan pidana penjara tiga tahun dan denda Rp 200 juta.
Tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan yang dilakukan oleh orang yang dirugikan.
sumber gambar, ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Pimpinan Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) Panglima Jilah (kanan) usai menghadiri Silaturahmi Besar Pasukan Merah BBR di Rumah Radakng, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (29/11/2022).
Pusat Studi Hukum dan Politik Indonesia (PSHK) menganggap artikel ini dalam publikasinya sebagai indikasi bahwa “penguasa negara ingin ditinggikan seperti penjajah pada zaman penjajahan”.
Kalau dipikir-pikir, keberadaan pasal penghinaan Presiden sudah ada sejak KUHP Belanda, yang mengatur penghinaan yang disengaja terhadap Raja dan Ratu.
Namun setelah Indonesia merdeka, menurut PSHK, pasal ini diadopsi dengan mengubah frasa “raja dan ratu” menjadi presiden dan wakil presiden.
Berbeda dengan tradisi monarki yang menahbiskan raja/ratu sebagai lambang kebangsaan, sistem demokrasi berpendapat bahwa jabatan kepala negara di bawah kepemimpinan presiden bukanlah lambang negara.
Lambang negara dalam Pasal 35 dan 36B UUD 1945 adalah Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.
Oleh karena itu, menurut PSHK, “komentar, pujian, bahkan ejekan publik terhadap Presiden merupakan bentuk penilaian kinerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.”
Pertanyaan apakah cara komunikasi saat menyampaikan kritik di bidang etika sudah tepat tidak perlu dituntut.
Selain itu, mereka mengatakan bahwa mengubah pasal penghinaan menjadi pelaporan pelanggaran “tidak menghilangkan risiko kriminalisasi.” Memang, polisi seringkali pilih-pilih dan kesulitan bertindak tepat ketika dihadapkan pada laporan dari pihak yang terkait dengan pejabat negara.
5. Pasal-pasal tentang Tindak Pidana Agama
Rancangan KUHP versi final masih memuat pasal-pasal pidana bagi mereka yang melakukan penistaan atau penodaan agama.
Pasal 300 RKUHP menyatakan bahwa setiap orang di masyarakat yang:
sebuah. melakukan tindakan permusuhan;
b. mengungkapkan kebencian atau permusuhan; atau
c. Menghasut permusuhan, kekerasan atau diskriminasi terhadap agama, kepercayaan, golongan atau golongan orang lain berdasarkan agama atau kepercayaan di Indonesia dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Pasal selanjutnya menetapkan bentuk penodaan agama berupa menulis, menggambar, merekam, dan menyebarluaskan dengan menggunakan teknologi informasi diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
sumber gambar, Gambar Getty
Surat penolakan pembangunan gereja di dekat GPIB Filadelfia, Bekasi, yang disegel pada 25 Desember 2012, dilayangkan warga Bekasi.
Mereka yang menghasut seseorang untuk tidak beragama atau percaya pada Indonesia juga diancam dengan hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 50 juta.
Orang yang memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk tidak beragama atau berkeyakinan dapat dipidana empat tahun atau denda sebesar Rp 200 juta.
Kemudian, dalam Pasal 303, orang yang membuat kerusuhan saat kebaktian akan didenda Rp 1 juta.
Barangsiapa dengan kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan majelis agama atau kepercayaan akan dihukum dua tahun penjara atau denda Rp 50 juta.
Dan bagi yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mengganggu, menghalang-halangi, atau membubarkan orang-orang yang sedang beribadah dipidana lima tahun penjara atau denda Rp 200 juta.
Sejumlah ormas berpendapat bahwa delik agama dalam RKUHP masih terlalu luas dan multitafsir sehingga menimbulkan “kemungkinan over kriminalisasi”.