
sumber gambar, HIDAYATULLAH
Bangunan Dayah Diniyah Darussalam di Aceh terbilang sederhana.
Dayah Diniyah Darussalam di Kabupaten Aceh Barat bukanlah pondok pesantren biasa. Hanisah, sang pemimpin, menjadikan Dayah ini sebagai rumah aman bagi anak-anak dan korban kekerasan seksual. Hukum Syariah Aceh, katanya, “tidak membawa keadilan bagi para korban.”
Bangunan pesantren sederhana dan terdiri dari ruang kelas dan kamar santri dengan cat tembok berwarna hijau.
Setiap hari, sekitar 25 anak tinggal dan mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sebuah dayah – di Desa Meunasah Buloh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.
Sekitar 22 tahun yang lalu, Hanisah yang kini berusia 45 tahun mendirikan Dayah Diniyah Darussalam bagi anak-anak korban konflik agar mereka tetap bisa mengenyam pendidikan yang layak di saat Aceh masih belum pulih dari konflik antara gerakan Aceh Merdeka dan Republik. Aceh melanda Indonesia.
“Sejauh ini [untuk] anak yatim piatu yang ayah dan ibunya tertembak [saat konflik].
“Tapi di sini kami menerima semuanya,” kata perempuan yang dijuluki “Umi” atau “Ibu” oleh para siswa itu, kepada wartawan Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Saat adzan Maghrib dikumandangkan, Hanisah bersama guru-guru lainnya ikut bergabung dengan para siswa untuk sholat berjamaah dan belajar ilmu agama hingga azan Isya dikumandangkan.
Diusir karena korban pemerkosaan inses
Seiring berjalannya waktu, Diniyah Darussalam juga menerima anak-anak korban tsunami 2004 yang meluluhlantakkan Aceh.
Namun bagi Hanisah, ia sangat merasakan transformasi pondok pesantrennya sekitar 10 tahun setelah berdirinya.
Saat itu, ia melahirkan seorang anak berusia 15 tahun yang sedang hamil dan menjadi korban perkosaan incest di tangan ayah kandungnya. Korban, kata Hanisah, ditempatkan bersama adiknya yang diusir dari desanya.
“Jadi sudah diusir dari desa, tidak diterima oleh kerabatnya. Jadi dirujuk ke Dayah kita,” kata Hanisah.
Niat Hanisah untuk mulai merumahkan korban justru mengakibatkan pesantrennya digusur dari desa dan harus direlokasi ke lokasi baru.
“[Kata warga] anak itu tidak baik. Jadi kalau anak diterima di pesantren, desa tidak seharusnya baik,” kenangnya.
Karena desakan dari warga sekitar, Hanisah yang baru saja kembali dari Filipina untuk menghadiri sebuah acara, mengemasi semua barang bawaannya dan mengajak semua muridnya untuk pindah.
Kejadian malam itu tidak membuat Hanisah mengurungkan niatnya untuk membantu korban kekerasan seksual.
Dayah Diniyah Darussalam memang membuka babak baru sebagai rumah aman untuk melindungi anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual lainnya.
“Ada kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum, pencurian anak, perempuan diperkosa beramai-ramai sampai hamil, ada penculikan, zina, pemerkosaan mahasiswi oleh dosen, ada juga kasus adik ipar memperkosa anak kecilnya. anak di depannya, meninggalkan anak trauma dan dikirim ke tempat ini. Jadi banyak masalah yang kita hadapi,” kata Hanisah.
“Kalau bukan kita yang melihat para korban, siapa lagi?”
sumber gambar, Hidayatullah
Hanisah, pemimpin Dayah Diniyah Darussalam di Aceh Barat.
Kini, 12 tahun setelah pengungsian, Dayah Diniyah Darussalam alias Hanisah telah menangani ratusan perempuan korban kekerasan seksual.
Menurut Hanisah, banyak dari mereka yang selamat sejak itu menjadi pejabat, guru, dan bahkan pemimpin pesantren.
“Nah, kalau bukan kita, pemimpin Dayah [atau] ulama yang melihat [korban]“Siapa lagi?” kata perempuan yang merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat itu.
Masyarakat umum, kata dia, seringkali memandang tindakan kekerasan seksual sebagai tindakan keji. Tapi jarang mau menerima pengorbanan.
“Tapi itu harus kita perhitungkan, kita dorong, kita rangkul. Sehingga mereka menjadi orang baik yang bisa berdiri di atas kedua kaki sendiri,” ujarnya.
Di sarang Hanisah, lanjutnya, “Semuanya dibangun atas nama Santri.”
Latar belakang pengorbanan yang datang juga hanya diketahui oleh satu atau dua orang dewan guru dan tidak dibagikan kepada siswa lainnya.
“Itu sengaja disembunyikan untuk menghindari intimidasi atau caci maki agar korban bisa bergaul dengan siswa lain,” jelasnya.
Setiap korban yang datang ke Dayah Diniyah Darussalam diperkenalkan sebagai santri yang ingin belajar agama, kemudian korban didampingi oleh seorang guru yang juga penyintas.
Selain memberdayakan korban dengan pendekatan Islam, Hanisah juga mengajak korban untuk berdiri tegak dalam menghadapi kehidupan.
“Jangan berpikir kami melakukannya dengan sengaja. Kita hidup di dunia di mana segala sesuatunya selalu salah. Saya sedang meningkatkan tauhid dan tasawuf untuk menjadi rendah hati dan mengenal diri sendiri,” kata Hanisah.
“Kadang-kadang liburan bersama,” tambahnya sambil tersenyum.
Tempat menata ulang mimpi
sumber gambar, HIDAYATULLAH
Hanisah berjalan di antara kamar-kamar pondok pesantrennya.
Malika (bukan nama sebenarnya), 21 tahun, sudah enam bulan tinggal di rumah persembunyian Hanisah. Dia diperkosa oleh seorang profesor di kampusnya.
Baginya, tinggal di Dayah Diniyah Darussalam adalah pilihan yang tepat karena ia mengaku sangat membutuhkan dukungan dan perlakuan yang baik dari orang-orang di sekitarnya.
“Saat pertama kali bertemu Umi, saya sangat membutuhkan dukungan. Saya tidak merasa cemas di sana, sangat nyaman,” kata Malika yang mengaku dikenalkan kepada Hanisah oleh seorang teman.
Semua teman di rumah persembunyian, katanya, juga memperlakukannya dengan sangat baik.
Sebagai korban perkosaan, Malika mengatakan ada kalanya dia merasa tidak ada artinya dalam hidup, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan merasa mentalnya tidak stabil.
Di sini dia dapat mengatur kembali dirinya secara spiritual dan mengatur ulang mimpi-mimpi yang sebelumnya hancur.
“Kami para wanita memiliki hal-hal yang dulu membuat kami sakit… Kami tidak bisa membahasnya. Kami masih memiliki harapan untuk kehidupan yang lebih baik, kami masih memiliki masa depan,” katanya.
Pendamping Malika di rumah persembunyian ini adalah Hasanah (bukan nama sebenarnya juga), 26 tahun, korban penculikan pernikahan yang telah tinggal di Dayah Diniyah Darussalam selama enam tahun terakhir.
Selama di sini, Hasanah menyelesaikan pendidikan SMA dan gelar sarjananya. Saat ini beliau adalah salah satu pengajar di Dayah Diniyah Darussalam.
“Umi salah satu petarung, jadi kalau ditanya dia nyaman, ya dia nyaman sekali. Umi selalu memotivasi kami untuk tetap semangat,” ujarnya.
Dukungan dan dorongan untuk terus berjuang itu membawanya melalui masa-masa tergelap dalam hidupnya.
“Teruslah berjuang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Jangan mengeluh dan jangan putus asa dengan apa yang telah kita lalui,” ujarnya.
Kerjasama dengan berbagai industri
sumber gambar, HIDAYATULLAH
Pondok Pesantren Diniyah Darussalam berjalan beriringan dengan pesantren dan akomodasi yang aman.
Hanisah juga mengakui bahwa untuk menyembuhkan korban kekerasan seksual, Dayahnya membutuhkan dukungan dari pihak lain, seperti Balai Latihan Kerja Aceh Barat dan kepolisian.
Polisi Kaway XVI mengatakan pihaknya telah menjalin kerjasama dengan Dayah Diniyah Darussalam sejak 2004.
“Anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual dan KDRT membutuhkan perlindungan dan perlindungan,” kata Aipda Munawir, Kepala Satuan Binmas Polsek Kaway XVI.
Selama proses pengadilan, korban dipercayakan ke kantor ini.
Meski demikian, Hanisah sendiri mengakui bahwa sistem hukum Qanun Jinayat di Aceh tidak berpihak pada korban.
“Sebenarnya tidak ada keadilan dalam hukum Syariah Aceh, Qanun Jinayat,” katanya seraya menambahkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, akan diterapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). telah disahkan oleh DPR RI.
“Hukum ini harus dimasukkan dan hukum Qanun Jinayat harus dihapus karena merugikan perempuan.”
Hanisah, yang selama puluhan tahun mengelola rumah Dayah dan Aman yang berjalan berdampingan, mengakui tekadnya untuk terus membantu perempuan korban kekerasan agar tidak mati.
Ia ingin semua penyintas kasus kekerasan seksual menjalani kehidupan yang layak dan mandiri. Semua ini, katanya, dia lakukan karena suatu alasan.
“Cinta, sayang. Karena tidak ada yang menampung [korban]. Saya pernah melihat pengalaman beberapa korban ditelantarkan lalu dikorbankan lagi hingga mereka bunuh diri.
“Kalau dibiarkan, kita yang berdosa,” pungkas Hanisah.