
sumber gambar, ANTARA FOTO
Komnas HAM menyebut penggunaan gas air mata secara berlebihan menjadi penyebab tewasnya tragedi Kanjuruhan.
Komnas HAM telah mengklasifikasikan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penggunaan “berlebihan” gas air mata adalah salah satu dari tujuh pelanggaran hak asasi manusia, katanya.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi karena kepemimpinan “gagal menerapkan, menghormati, dan memastikan prinsip dan norma keselamatan dan perlindungan organisasi sepak bola”.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa selain pelanggaran kode etik, ada “tindak pidana” yang terlibat dalam tragedi Kanjuruhan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penuntutan yang komprehensif.
“Harus ada tanggung jawab hukum atas kematian atau kematian 135 orang. Masyarakat tidak bisa hanya diminta mundur, membenahi organisasi dan sebagainya, harus dilakukan, tapi penegakan hukum itu penting,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat konferensi pers, Rabu. . .
Komnas HAM menyebutkan setidaknya ada tujuh pelanggaran, antara lain; penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan “45 tembakan gas air mata”; Pelanggaran hak atas keadilan karena proses penuntutan saat ini tidak mencakup semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab; Pelanggaran hak hidup karena 135 orang meninggal akibat penggunaan air mata”.
Ditambah dengan “pelanggaran hak atas kesehatan karena banyak korban terluka dalam insiden tersebut; Pelanggaran keamanan karena kegagalan untuk menentukan status game dalam game yang berisiko tinggi; Pelanggaran hak anak karena korban anak mencapai 38 anak pada 13 Oktober 2022; dan keberadaan badan usaha yang mengabaikan hak asasi manusia”.
Dalam salah satu rekomendasinya kepada polisi, Komnas HAM menyerukan keselamatan dalam penegakan hukum bagi semua pihak yang terlibat, baik yang bertanggungjawab maupun yang lalai melanggar aturan yang ada.
Selain itu, salah satu rekomendasinya meminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap tata kelola sepakbola sebagai bagian dari upaya pemenuhan dan perlindungan HAM.
“Jika dalam waktu tiga bulan tidak ada langkah konkrit, Komnas merekomendasikan HAM untuk membekukan kegiatan talk ball yang dikelola PSSI. Ini penting untuk memastikan profesionalisme dan tidak adanya insiden serupa di masa mendatang,” kata Anam.
Hasil dan rekomendasi Komnas HAM akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo yang akan diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD besok, Kamis (3/11).
45 tembakan gas air mata adalah “tindakan kriminal”
sumber gambar, ANTARA FOTO
Komnas HAM mengatakan, insiden gas air mata yang fatal terjadi di Gerbang 13 Stadion Kanjuruhan Malang.
Seperti yang diungkapkan oleh temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGIPF), Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa gas air mata yang berlebihan menjadi penyebab insiden maut di Kanjuruhan tersebut.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Komnas HAM, 27 tembakan dari video terlihat dan 18 tembakan lagi dipastikan terdengar. Temuan fakta ini memperkuat dugaan pelanggaran pidana dalam tragedi Kanjuruhan, menurut Komnas HAM.
“Sebelum tembakan gas air mata pertama benar-benar terkendali, jadi jika aparat keamanan bersabar, 30 menit tidak akan menjadi tragedi yang memilukan. Inti tindakannya bukan hanya pelanggaran SOP tapi juga tindak pidana,” kata Choirul Anam.
Berdasarkan perhitungan kasar, dilihat dari karakter senjatanya, diperkirakan untuk 45 tembakan gas air mata, ratusan amunisi akan dilepaskan ke udara.
Meski gas air mata sendiri tidak mematikan, menurut Komnas HAM, gas air mata bisa mematikan dalam kondisi tertentu. Hal ini dibuktikan dengan kejadian yang terjadi di pintu gerbang Stasiun Kanjuruhan 13.
“Tembakan itu ada di langkan tangga tribun ke-13 sampai asap keluar dari pintu ke-13. Tidak seperti pintu mana pun.”
“Saat penonton di luar sana terus ada kemacetan, ada gas air mata, memungkinkan gas, meskipun karakter dasarnya tidak fatal, tetapi dalam kondisi tertentu ruangan ditutup dengan sedikit oksigen, itu mungkin. kematian itu terjadi, ”kata Anam sambil menunjukkan video. Itu terjadi di pintu 13.
PSSI ‘melanggar aturannya sendiri’
sumber gambar, ANTARA FOTO
Perjanjian kerjasama antara PSSI dan polisi “melanggar” peraturan PSSI sendiri, kata Komnas HAM.
Penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa yang sebenarnya tidak diperbolehkan dalam pertandingan sepak bola, dimulai dengan penandatanganan perjanjian kerjasama (PCS) antara PSSI dan polisi, yang juga melanggar aturan PSSI dan FIFA.
Komnas HAM mengatakan, PSSI sebagai penggagas PKS mengabaikan norma dan prinsip keamanan ketika disusun, sehingga tidak ada upaya serius dan maksimal untuk menawarkan konsep dan desain keamanan yang tepat kepada polisi. Akibatnya, polisi membuat rencana keamanan mereka sendiri.
“Kami meninjau proses manufaktur, tidak ada konsep yang ditawarkan dan tidak ada banyak perdebatan apakah itu diizinkan atau tidak. Jangan hanya memberi tahu mereka secara detail,” kata Anam.
Praktek menggunakan PKS ini menciptakan peran dan tanggung jawab petugas keamanan Dalam kasus keamanan, penerapan keamanan dan pengendalian keamanan minimal.
Selain itu petugas keamanan Dalam kejadian ini, ternyata mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai karena tidak memiliki lisensi yang baku. Dalam hal ini juga petugas keamanan jangan membuat rencana keselamatan.
“Oleh karena itu kamu harus bertanggung jawab” petugas keamananmerupakan tanggung jawab polisi. Ini memang masalah serius, menjadi cikal bakal kenapa Brimob masuk, membawa barakuda… dan seterusnya. Jadi PSSI melanggar aturannya sendiri,” kata Anam.
Namun, praktik ini tidak hanya terjadi dalam penyelenggaraan pertandingan di Stadion Kanjurhan antara Arema FC dan Persebaya, tetapi juga “dalam banyak pertandingan sepak bola di Indonesia”.
“Abaikan keamanan dan prioritaskan komersialisasi”
Banyak orang tahu bahwa pertandingan malam itu antara Arema FC dan Persebaya adalah pertandingan yang berisiko mengingat persaingan antara kedua tim dan penggemarnya, hingga pendukung Persebaya dilarang menonton.
Namun, PSSI tidak mendefinisikan pertandingan tersebut sebagai pertandingan yang berisiko tinggi, dan itulah yang menjadi masalah di Komna HAM.
“Kami melihat Presiden dan Sekjen PSSI memang memiliki kewenangan untuk menentukan ini berisiko tinggi atau tidak dan mengambil tindakan termasuk membatalkan permainan tetapi tidak ada tindakan yang dilakukan meskipun memiliki wewenang dan juga memiliki informasi tersebut.
“Mengapa kami memastikan bahwa kami memiliki informasi? Secara formal surat dari Kapolres CC yang salah satunya ditujukan kepada Kabid PSSI,” jelas Anam
Seperti disebutkan sebelumnya, demi keamanan, Polres Malang meminta agar jadwal pertandingan diubah dari sebelumnya pukul 20.00 menjadi 15.30. Namun, pihak penyelenggara tidak mengabulkan permintaan tersebut.
Alih-alih keselamatan seluruh peserta pertandingan, Komnas HAM atas permintaan sponsor menyimpulkan pihak penyelenggara hanya mempertimbangkan faktor komersial.
“Kami menyimpulkan bahwa PT LIB dan Saluran (Indosiar) lebih mempertimbangkan aspek komersialisasi,” kata Anam.
Selain itu, pengabaian keamanan dan tindakan pencegahan keselamatan lainnya terkait dengan kelebihan kapasitas stadion, menurut Komnas HAM.
Menurut catatan resmi, Stadion Kanjuruhan seharusnya berkapasitas 38.054 orang, namun tiket yang dicetak panitia penyelenggara mencapai 43.000, dengan rekor penjualan 42.516 tiket.
Selain itu, Komnas HAM juga menemukan bahwa Stadion Kanjuruhan tidak memenuhi standar keamanan permainan.
Mengapa tidak ada pelanggaran HAM berat?
Meski ratusan orang tewas, Komnas HAM tidak menggolongkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat karena Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak memuat unsur, yakni unsur “sistematis atau meluas”.
“Sistemnya kemudian dilihat dari struktur komandonya, ada perintah yang jelas, perencanaan dan sebagainya, artinya kematian atau kekerasan atau kejadian apapun yang kemudian menyebabkan kematian direncanakan.
“Ada perintah di lapangan, tapi ini respon cepat terhadap situasi di lapangan,” kata Komisaris Besar Beka Ulung Hapsara.
Dalam kasus ini, Komnas HAM menemukan bahwa tidak ada kebijakan atau lembaga pemerintah yang dikeluarkan untuk melakukan penyerangan terhadap warga sipil.
“Namun, bukan berarti jika ini tidak ditetapkan sebagai pelanggaran berat HAM, tidak serius, jumlah korban yang masif juga harus menjadi masalah serius, sehingga penuntutan harus benar-benar serius,” kata Ahmad Taufan. Damanik.