Peristiwa Madiun 1948: Sejarah Gelap, Narasi Alternatif, dan Rekonsiliasi
Ribuan orang dikatakan tewas akibat perang saudara yang menurut sejarah resmi dijuluki Pemberontakan Madiun 1948 oleh Partai Komunis Indonesia PKI.
Para korban yang tewas tidak hanya tokoh Islam, pejabat atau rakyat jelata, tetapi juga di pihak lain, yakni tokoh PKI dan pendukungnya.
Dengan latar belakang persaingan ideologis dan intrik politik, pimpinan satuan tentara pro-PKI mengumumkan pemerintahan baru di Madiun, dan pemerintah pusat menanggapi dengan tekad. Pertumpahan darah diikuti.
- Video dalam versi panjang dapat dilihat di sini.
Puluhan tahun kemudian, orang-orang yang terperangkap dalam angin puyuh konflik bersenjata telah lenyap, tetapi ingatan akan tragedi itu tetap ada hingga hari ini.
Hampir setiap tahun, peristiwa masa lalu kembali hidup, terutama ketika solusi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia pembunuhan komunis tahun 1965 diperlukan.
Beberapa kalangan juga masih melihat kisah Peristiwa Madiun 1948 dari perspektif menang-kalah dan benar-salah.
Tragedi itu juga disinari dari sudut pandang kekuasaan-politik dan elitis, beberapa orang seperti tahanan masa lalu.
Namun di sisi lain, ada upaya terus-menerus untuk menghilangkan kecurigaan dari generasi kedua atau ketiga, yang orang tuanya dulu bermusuhan satu sama lain.
Beberapa dari mereka mencoba menjembatani lingkaran dasar yang orang tuanya dulu saling berkelahi.
Ada juga semacam tindakan berpaling dari masa lalu tetapi tanpa mengabaikannya.
Dan pasca Reformasi 1998, muncul narasi alternatif di balik tragedi tersebut, sebagai tanggapan atas narasi tunggal Orde Baru, yang cenderung menghadirkan tragedi Madiun 1948 secara terpadu.
Namun langkah ini tidak mudah, karena masih ada perlawanan dari beberapa pihak yang tampaknya tidak bisa lepas dari peristiwa traumatis kekerasan masa lalu.
Ada pesimisme, tetapi juga ada nada optimis ketika menempatkan peristiwa Madiun tahun 1948 dalam perspektif hari ini.
Waktu terus bergerak, keterbukaan informasi dan demokratisasi dimaksudkan untuk mendorong generasi sekarang dan mendatang, yang tidak terkena trauma Madiun 1948, untuk memilih perspektif baru dalam konteks kejadian.
“Saya mulai dari sebuah pepatah, setiap generasi menulis ceritanya sendiri… Dan saya optimis generasi mendatang akan memiliki kesempatan atau kesempatan yang berbeda dengan generasi saya atau generasi ayah dan kakek saya,” kata sejarawan itu. Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian.
Video versi panjang tersedia di sini.
Video Produksi: Heyder Affan dan Anindita Pradana