ANGGOTA Komisi I DPR Nurul Arifin mengingatkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate untuk bersikap adil dalam menerapkan kebijakan pengalihan siaran TV analog ke digital atau analogue switch off (ASO).
Menurut Nurul, penerapan ASO sudah berlangsung hampir sebulan sejak 2 November 2022. Namun, penuh dengan masalah di sana-sini, tidak hanya dalam implementasi tetapi juga dalam peraturan. Secara khusus, tidak ada kebijakan pemerintah mengenai multiplexing (MUX) untuk televisi lokal. MUX merupakan infrastruktur utama di ASO sebagai distributor konten siaran TV berbasis digital.
“Ya (ASO), masih banyak kekurangan dan masalah. Sisi politik sangat penting. Banyak stasiun TV lokal yang tidak dapat menyiarkan secara digital karena tidak memiliki MUX dan takut menghadapi hukuman pidana jika menyewa MUX. Itu harus dilakukan dulu,” kata Nurul, Selasa (29/11) di Jakarta.
Pernyataan Nurul itu senada dengan salah satu poin utama kesimpulan rapat kerja Komisi I DPR dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rabu (23-22) lalu. Pada poin 1 (a), DPR mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyusun pedoman terkait ASO yang mampu memuaskan semua lembaga penyiaran, termasuk lembaga penyiaran lokal, sehingga mampu menyiarkan siaran berbasis digital untuk masyarakat.
Sekadar mengingatkan, Mahkamah Agung (MA) membatalkan aturan sewa slot MUX dalam Pasal 81(1) PP No. 46 Tahun 2021 terkait Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Akibatnya, penyiar tidak bisa menyiarkan secara digital dengan menyewa slot MUX. Penyelenggara MUX tidak lagi diizinkan untuk menyewakan slot MUX.
Dengan cara ini, nasib stasiun TV lokal masih terkatung-katung karena tidak jelas di mana mereka bisa tayang. Padahal, stasiun TV lokal tersebut memiliki izin siar resmi. Dampak dari masalah ini, kata Nurul, masyarakat kehilangan haknya untuk menikmati tayangan TV lokal. Menurut politikus Golkar itu, hal itu harus diprioritaskan. Ada kebijakan yang jelas dan adil terkait nasib stasiun TV lokal.
Sementara Nico Siahaan, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP, mendesak pemerintah berlaku adil dalam penerapan ASO. Nico melihat penyiar lokal sebagai korban dari kebijakan ini.
“Jangan go digital dan beritahu dunia luar bahwa Indonesia sudah digital tapi berkorban. Siapa korbannya? Sobat TV lokal,” kata Nico.
Dia mengatakan kebijakan ini membuat televisi lokal resah. Mereka harus memikirkan nasib pekerjanya. Di sisi lain, ASO memaksa penyiar lokal melakukan investasi yang signifikan untuk mendapatkan slot berbasis digital bagi lembaga penyelenggara MUX.
Hal ini diperparah dengan situasi terkini di industri televisi, yang harus bersaing dengan platform media baru berbasis Internet untuk menarik pengiklan.
“Harga umumnya Rp 25 juta per bulan. Stasiun besar bisa membayar, tapi stasiun TV lokal sangat sulit. Apa yang saya katakan tidak adil. Nampaknya televisi lokal sangat sulit bertahan,” ujarnya.
Nico mengusulkan agar pemerintah memberikan kelonggaran kepada lembaga penyiaran lokal, seperti menyediakan saluran khusus TV lokal secara cuma-cuma selama jangka waktu tertentu. Menurutnya, cara ini mampu membantu stasiun TV lokal bertahan dan mengikuti siaran berbasis digital.
“Dalam hal ini, televisi lokal harus didukung oleh pemerintah. Ini sangat penting,” tutupnya.
Di tempat lain, Bambang Santoso, Ketua Umum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), menyayangkan ketidakjelasan bahkan perlindungan hukum bagi televisi lokal terkait MUX atau sewa spektrum.
BACA JUGA:Memberi makan siaran TV analog, DPR: Pengadaan STB jangan dijadikan alasan bisnis
“Banyak stasiun TV lokal di daerah yang meneriakkannya. Kami tidak mau dijerat hukum. Kami menuntut keadilan agar stasiun TV lokal bisa siaran dengan nyaman dan tidak dirugikan,” ujarnya.