
sumber gambar, Gambar Getty
Para pengunjuk rasa menuntut pengungkapan peran Suharto dalam tragedi 1965.
Permintaan maaf negara kepada Sukarno dan keluarganya terkait Gerakan 30 September 1965 (G30S), kata para sejarawan, dapat membuka jendela dialog dan meluruskan fakta sejarah masa lalu yang muncul selama beberapa dekade di bawah Orde Baru — yang mengatakan Sukarno diduga telah dituduh melindungi PKI dan bahkan terlibat dalam G30S.
Namun, mantan aktivis yang mendesak Sukarno mundur itu tidak setuju dengan wacana permintaan maaf tersebut, karena meyakini fakta sejarah bahwa Sukarno ragu-ragu dan pasif menanggapi peristiwa G30S saat itu.
Usulan pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga Sukarno diajukan oleh PDI-P.
Mereka beralasan, Ketetapan MPRS XXXIII 1967 yang mencabut kekuasaan pemerintahan negara Presiden Sukarno, salah satu poinnya, mengatakan Sukarno menguntungkan kelompok yang melakukan G30S.
Ketika Presiden Joko Widodo membuat pernyataan tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional pada Senin (7/11), ia menegaskan bahwa Sukarno adalah pahlawan nasional dan bahwa Ketetapan MPRS XXXIII Tahun 1967 dibatalkan oleh Ketetapan MPRS Nomor 1 Tahun 2003 telah pernah .
Membuka jendela dialog dan mengoreksi masa lalu
sumber gambar, ADITYA IRAWAN/GETTY PICTURES
Sejumlah orang menyiapkan proyektor dan layar untuk menonton bersama film Pemberontakan G30S/PKI di Cipinang, Jakarta, 29 September 2017.
Sejarawan Andi Achdian dari Universitas Nasional di Jakarta mengatakan negara pantas meminta maaf kepada Sukarno dan keluarganya atas perlakuan buruk Suharto dan rezim Orde Barunya.
“Permintaan maaf itu merupakan jendela untuk membuka wacana sejarah yang telah terbentuk di bawah Orde Baru selama beberapa dekade,” kata Achdian, Rabu (9/11).
“Ini adalah pintu masuk untuk membuka dialog tentang apa yang terjadi di tahun 1960-an dan pelanggaran hak asasi manusia saat itu.
“Melalui pengampunan juga akan membebaskan kita dari trauma dan meluruskan masa lalu G30S,” ujarnya.
Salah satu perlakuan buruk terhadap Sukarno, menurut Achdian, adalah perebutan kekuasaan secara tidak sah melalui Ketetapan MPRS XXIII tahun 1967, yang kemudian menjadikannya sebagai tahanan politik.
Dalam memimpin rezim Orde Baru, kata Achdian, pemerintah membangun narasi sejarah resmi yang mendelegitimasi posisi Sukarno sebagai pendiri bangsa dan pahlawan nasional.
Sukarno tidak pernah muncul sebagai orang yang mandiri untuk berkontribusi bagi Indonesia, kata Achdian.
sumber gambar, Gambar Getty
Markas besar Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta hancur total pada 8 Oktober oleh kemarahan massa menyusul insiden G30S.
“Karena sejarah dibuat dari kebohongan. Rezim Orde Baru membangun narasi sejarah melalui propaganda yang menyesatkan, sejauh ini kontroversi terus berlanjut,” katanya.
Salah satu propagandanya Achdian mencontohkan, pada 1 Oktober 1965 Sukarno memutuskan untuk tidak pergi ke Istana Merdeka karena dikepung oleh pasukan militer.
Kemudian Sukarno mengamankan dirinya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur.
“Tapi posisi Sukarno di Halim adalah tuduhan bahwa dia menyetujui G30S, jadi itu sebenarnya kerangkanya. Meski merupakan prosedur pengamanan presiden, Halim adalah tempat yang aman,” katanya.
“Tidak mungkin seorang presiden terlibat dalam kudeta, itu tidak masuk akal.”
“Posisi Soekarno adalah tidak ingin pertumpahan darah, jadi dia enggan membubarkan PKI. Sehingga memunculkan narasi bahwa Sukarno adalah bagian dari G30S, meski tidak berdasarkan fakta sama sekali, hanya tuduhan,” katanya.
PDI-P meminta maaf kepada negara
sumber gambar, GAMBAR BERYL BERNAY/GETTY
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno, diikuti oleh Mayor Jenderal Suharto, memproklamirkan Ordo Sebelas Maret di Istana Bogor, menganugerahkan kekuasaan kepada perwira yang kemudian memerintah selama 32 tahun.
PDI-P meminta negara melalui pemerintah untuk meminta maaf kepada Sukarno, yang dituduh tidak setia kepada Republik Indonesia dan diperlakukan tidak adil selama sisa hidupnya.
Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan, meminta maaf adalah bagian dari tanggung jawab moral bangsa dan negara serta mengajarkan generasi penerus untuk terus menghargai jasa para pahlawan khususnya para founding fathers bangsa.
Selain itu, semua tuduhan terhadap Sukarno dalam G30S tidak pernah terbukti.
Salah satu perlakuan tidak adil yang dialami Soekarno adalah Ketetapan MPRS Nomor 30 Tahun 1967 yang mencabut kekuasaan ketatanegaraan oleh Presiden Soekarno.
Sukarno juga dituding memiliki kebijakan yang dianggap berpihak pada angka PKI, yang tertuang dalam bab tentang pertimbangan TAP MPRS.
Pada peringatan kematian Bung Karno tahun 2017 di gedung MPR, Megawati Soekarnoputri, putri Sukarno yang juga pemimpin umum PDI-P, menceritakan saat-saat yang dialaminya ketika ayahnya digulingkan dan dituduh mendukung dan melindungi pemberontakan. memiliki negara.
“Karena politis, ada proses de-sukarnoisasi. Apa pun yang berbau Bung Karno perlu ditenggelamkan. Ambil saja foto-fotonya, kalau tidak kamu tidak bisa makan apa-apa,” kata Mega seperti dikutip Detik.com.
Pada masa Orde Baru, film tentang pembunuhan tujuh orang militer ditayangkan setiap malam pada tanggal 30 September.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menegaskan kembali bahwa Sukarno adalah pahlawan nasional dan bahwa Ketetapan MPRS XXXIII Tahun 1967 telah dibatalkan dengan Ketetapan MPRS Nomor 1 Tahun 2003.
“Perlu kami tegaskan bahwa Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 menyatakan bahwa TAP MPRS nomor XXXIII adalah kumpulan ketentuan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan upaya hukum lebih lanjut”, ujarnya saat memberikan keterangan tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional, Senin (11/7).
“Entah karena sudah final, sudah dicabut, atau sudah dilaksanakan. Pada tahun 1986, pemerintah menganugerahkan Sukarno sebagai Pahlawan Proklamator. Dan pada 2012, pemerintah juga menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mendiang Soekarno,” kata Jokowi.
Berdasarkan putusan tersebut, lanjut Jokowi, Soekarno dinyatakan telah memenuhi syarat kesetiaan dan tidak menyinggung perasaan bangsa dan negara, yaitu syarat diberikan gelar kepahlawanan.
“Ini merupakan bukti pengakuan dan penghormatan negara atas kesetiaan dan pengabdian Bung Karno kepada bangsa dan negara, baik sebagai pejuang dan proklamator kemerdekaan maupun sebagai kepala negara pada saat bangsa Indonesia sedang berjuang untuk memenangkannya. ..persatuan dan kedaulatan negara,” katanya.
Aktivis 66: “Ini Peran Sukarno”
sumber gambar, GAMBAR BETTMAN / GETTY
Satu orang dibawa pergi oleh militer karena dicurigai sebagai anggota PKI.
Ridwan Saidi, 66 mantan aktivis yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mengatakan tidak pantas negara meminta maaf kepada Soekarno dan keluarganya.
“Kesepakatan apa yang harus negara minta maaf? Negara yang memilikinya adalah rakyat,” kata Ridwan.
Ia juga tidak setuju dengan penghapusan TAP MPR XXXIII karena merupakan fakta sejarah bahwa Sukarno, sebagai kepala negara, pada saat itu tidak dapat menangani pembunuhan berdarah para jenderal dan dugaan keterlibatan PKI.
“Tidak bisakah kamu menghapusnya dan apa yang bisa kamu hapus? Adalah fakta, fakta, bahwa Presiden Sukarno tidak bertindak. Dia pasif, diam dan ragu-ragu untuk bertindak. Itu tidak mungkin, negara dalam bahaya,” kata Ridwan.
Ditambahkannya, pada tahun 2003 tidak ada rapat dan pembahasan MPR untuk membatalkan keputusan MPRS sebelumnya.
“Pada tahun 2003, Presiden adalah Ibu Megawati. Sidang MPR baru tahun 2004 dan tidak membahas TAP MPRS, tidak membahas. Pernyataan bahwa MPR dicabut pada tahun 2003 bahkan tidak ada rapat MPR, setahu saya, ”katanya.
sumber gambar, Gambar Getty
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam AS, saat demonstrasi, menyerukan pembubaran PKI pasca G30S 1965.
Ridwan mengatakan bahwa TAP MPRS XXXIII adalah hasil klaim dirinya dan anggota Angkatan 66 lainnya tentang ketidakpedulian Sukarno terhadap pembunuhan jenderal dan dugaan keterlibatan PKI.
“[TAP MPRS itu] Tuntutan kami, gerakan WIR saat itu, bahkan menuntut Sukarno diadili, hanya Pak Suharto yang tidak mau. Jadi aneh kalau dipadamkan,” kata dia yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Batalyon Soeprapto Arief Rahman Hakim.
Ridwan juga mengatakan, perlakuan rezim Orde Baru terhadap Sukarno dalam kategori normal. Menurutnya, Sukarno tidak diadili dan dipenjarakan, berbeda dengan saat Sukarno menangkap para pemimpin Masyumi.
Pada malam tanggal 30 September 1965, sebuah peristiwa berdarah terjadi di Lubang Buaya, Jakarta Timur, di mana enam jenderal dan satu perwira menengah tewas dan diasingkan.
Peristiwa tersebut memicu tragedi berdarah, yaitu pembantaian terhadap orang-orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, menyatakan pada 23 Juli 2012 bahwa insiden brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500.000 orang yang dituduh PKI adalah pelanggaran berat hak asasi manusia.
Namun penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal dan perwira, menurut beberapa pengamat, menandai awal melemahnya kekuasaan Sukarno.
Ia kemudian “digantikan” oleh Suharto dengan apa yang disebut surat perintah penangkapan 11 Maret 1966 dan “dilantik” pada tahun 1967 pada sidang khusus MPRS. Beberapa pengamat berbicara tentang “kudeta massa”.
Diyakini bahwa di bawah rezim Orde Baru, sosok, peran, dan terutama beberapa ajaran presiden pertama Indonesia itu disembunyikan atau dihilangkan secara sistematis.
Anak-anaknya bahkan dilarang memasuki politik praktis.
Berakhirnya kekuasaan Presiden Suharto dijadikan titik masuk oleh peristiwa politik Reformasi 1998 untuk memberi jalan pada narasi Sukarno yang sebelumnya terkekang, dengan segala kekuatan dan kelemahannya.